Merevolusi Hari Libur Nasional dan Cuti

Bismillah

Mari kita tilik kemungkinan alasan diadakannya hari libur nasional. Tercatat di tahun 2015, ada 15 hari libur nasional, belum termasuk cuti bersama selama total 4 hari. Di antara 15 hari libur, 4 hari di antaranya jatuh pada hari Sabtu (yang memang seharusnya libur). Jadi, sebenarnya total ada 11 hari libur, dan 4 hari "dipaksa" cuti.

Mengapa harus diliburkan? Alasan paling utama : menghormati ummat agama tertentu yang merayakan hari besarnya. Contoh, ummat Islam diliburkan saat Idul Fitri dan Idul Adha. Ummat nasrani diliburkan saat natal. Ummat Budha dengan waisak, Hindu dengan Nyepi, dan orang Tionghoa dengan Imlek. Tapi, ada pula hari libur yang sebenarnya tidak perlu libur, misal tahun baru Islam, Isra Mi'raj dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Kalaupun sampai perlu dirayakan, sebetulnya tidak ada tendensi untuk diliburkan. Karena toh orang merayakan Isra Mi'raj atau Maulid Nabi biasanya malam-malam. Kalau orang Islam saja tidak merayakan hari "besar" yang disebutkan tadi, seharusnya ummat agama lain juga tidak harus dipaksa untuk ikut-ikutan libur di hari tersebut. Contoh lain, tahun baru masehi. Mengapa harus libur? Karena semalam begadang niup terompet dan bakar kembang api hingga jam 2 pagi? Harusnya untuk yang tidak merayakan tahun baru, hidup masih bisa normal dan baik-baik saja di tanggal 1 dan masih bisa produktif bekerja.

Tunggu, jadi menurut penulis, bangsa Indonesia tidak butuh liburan?

Bukan. Idenya adalah, mengalokasikan waktu libur yang proporsional dan adil bagi semua orang. Jadi, ini termasuk jatah cuti rata-rata 12 hari kerja. Contoh, di hari Natal mengapa liburnya hanya sebentar, atau mengapa tidak ada istilah cuti bersama untuk Nyepi, atau mengapa tidak ada cuti bersama sehari sebelum Imlek (karena perjalanan ke Singkawang dari Pontianak itu via darat makan waktu 3-4 jam)? Seandainya seseorang tidak butuh libur di hari tertentu yang dipaksa libur, dia bisa memilih untuk tidak libur. Dan sebaliknya, seseorang bisa memilih untuk mengambil hari libur yang memang ia butuh untuk libur atau cuti. Contoh lain yang paling gampang, mau pergi umroh. Kalau pada saat waisak tidak ada rencana jalan-jalan ke mana-mana, pada saat libur Waisak jangan libur, tapi alokasikan libur di hari keberangkatan umroh. Kan, enak?

Sebentar, berarti nanti orang liburnya jadi tidak serempak? Karena pasti kepentingan orang berbeda-beda?

Tepat sekali. Logika yang sama untuk jatah cuti. Orang bisa memilih untuk cuti kapan saja selama masih 12 hari kerja setahun. Kita terapkan hal yang sama untuk hari libur nasional.

Bagaimana dengan kantor pelayanan pemerintah? Yang sebelumnya libur menjadi tidak libur?

Ya, atas nama pelayanan yang lebih baik. Saat ini bila orang hendak mengurus sesuatu di kantor pemerintah, pilihannya hanya dua : ambil cuti di hari kerja, atau pakai calo. Dua-duanya sama-sama nggak enak. Jika hari libur nasional dikurangi, maka kemungkinan akan ada hari di mana masyarakat bisa mengurus pajak, SIM, KTP, surat izin usaha, dll tanpa menggunakan jasa broker.

Produktivitas bangsa ini bisa meningkat dengan cara merevolusi mekanisme libur nasional dan cuti. Terima kasih.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

speak now or forever hold your peace

About Me