Sudah menjadi hal yang wajar, bila kehidupan seorang pria, sejak dibrojolin oleh Ibunya ke dunia, hingga ia dewasa, dan akhirnya mati, akan semakin punya banyak tanggung jawab. Ini sudah kodrat. Kodrat lalaki.
Saat ia kecil, mungkin waktunya masih digunakan untuk bermain, belum banyak tanggungan. Semakin besar, saat ia 7 tahun, ia harus sholat lima waktu. Semakin besar, ia mimpi bercinta, lalu ia khitan. Sudah harus jaga jarak dengan lawan jenis. Saat ia SMP atau SMA, masa depannya dipertaruhkan. Ia harus memilih untuk masuk ke jurusan pendidikan yang akan membawanya ke kehidupan yang lebih baik. Apa yang jadi minatnya? Mengapa? Setelah lulus SMA, ujian hidup semakin berat sahaja. Ia harus menjalani kehidupan universitas (atau bekerja membantu keuangan keluarga). Di sini mungkin orang tuanya sudah tak kuat menanggung biaya, sehingga ia mau tak mau bekerja sambilan atau rela menghemat uang bulanan.
Setelah lulus kuliah, ujian tak berhenti menerpanya. Tanggung jawabnya semakin besar. Pertanyaan Iroh pada Prince Zuko mungkin adalah pertanyaan yang harus ditanyakan pada diri tiap laki-laki :
I'm begging you Prince Zuko! It's time for you to look inward and begin asking yourself the big questions, who are you and what do you want ?
Setelah ia bekerja, seorang pria akan mulai menyadari kerasnya hidup. Tanggung jawab yang semakin besar, tak jarang membuat ia harus mengorbankan kesenangan pribadi seperti hobi, berkumpul bersama teman, bahkan untuk merawat diri sendiri saja tak sempat. Bahunya semakin lebar, guna memanggul beban yang lebih berat. Dadanya semakin bidang, agar menjadi tumpuan bagi calon istrinya yang menghendaki keamanan. Dahinya semakin banyak kerutan, karena ia terus berpikir bagaimana caranya memecahkan masalah dunia.
Salah satu beban yang membuat seorang pria harus memutar otak lebih keras adalah adanya kewajiban untuk mencari makanan bukan hanya bagi mulutnya sendiri. Kalau punya anak 2 ya total jadi 4 mulut yang mesti dikasih nasi. Kata salah seorang teman yang barusan punya bayi : "Bo, elu bakalan kerja berkali lipat lebih keras, saat elu mendengar tangisan anak lu sendiri karena butuh susu. Di saat itu elu nggak bakalan kepikiran buat ganti-ganti gadget, jalan-jalan ke luar negeri, atau sekadar hangout sama temen-temen kayak dulu".
Mungkin perkataan teman saya ada benarnya. Tapi di saat belum berkeluarga pun, saya sudah bekerja beberapa kali lipat lebih keras, karena saya punya hutang. Hutang yang besar. Pagi sampai sore kerja di pabrik, jadi buruh coding. Malamnya doing business dari kamar kos pake internet dari hape. Sabtu Minggu nggak ada waktu buat main-main. Alhamdulillah, hutang lunas juga setelah setahun lebih.
Di tahun 2013 ini, saya kembali berhadapan dengan hutang. Jumlahnya 13 kali lipat lebih besar dari total hutang saya tahun 2011. Ini berarti harus bekerja 13 kali lipat jauh lebih keras dari 2011, atau minta tenggat waktu 13 tahun lebih lama (yang mana nggak mungkin). Di saat ini rasa-rasanya kepala sudah mau pecah, dan bahu pegal luar biasa, keberatan muatan. Overload. Di saat malam jadi susah tidur karena memikirkan pinjaman, di pagi hari setelah bangun tidur pun hal yang terpikirkan pertama kali juga soal hutang.
Mengapa harus berhutang? Pertama, saya pikir bahwa inilah ujian yang menjadi latihan guna menghadapi tantangan yang jauh lebih berat. Toh sekarang saya masih belum punya tanggungan apa-apa. Ini akan membuat kita jadi pribadi yang lebih bertanggung jawab. Setiap kelakuan akan dipikirkan manfaat-kerugiannya dulu. Tidak ada lagi waktu yang terbuang sia-sia. Singkatnya, keadaan berhutang ini membuat kita, para pria, menjadi pribadi yang jauh punya integritas dibandingkan sebelumnya. Punya komitmen. Something to fight for.
Kedua, ini sarana untuk berterima kasih pada Tuhan, karena diberi kesempatan, untuk membuktikan bahwa kita bisa mengatasi segala kesulitan dariNya. Coba kalau nggak begini, pasti kehidupan akan kita jalani secara biasa-biasa sahaja. Dari mulai berhenti tidur sampe tidur lagi, hidup nggak ada greget-gregetnya. Seperti yang saya pernah tulis, laki-laki harusnya tak pernah takut untuk berhutang.
Tidak ada kebetulan tanpa ada alasan, tidak ada sebab tanpa musabab, dan tidak ada musibah tanpa ada hikmah. Kata seorang teman, kalau minta sama Tuhan itu kalau perlu sampe merengek-rengek sambil nangis, kayak anak kecil minta es krim ke Ibunya.
Saya akan buktikan, saya bisa bangkit. Sekali lagi. Insya Allah.
ini emang beneran atau sekedar pencitraan belaka? hahahhaha #pake helm, takut dikeplak
BalasHapusSekadar catatan buat anak kalau Bapaknya pernah hidup susah, biar nggak foya-foya... :D
HapusDan YA, semua yang saya posting di sosial media dan internet adalah demi #pencitraan untuk maju di PilBup Kabupaten Kubu Raya 2040 :))
boleh nanya dong, hutangnya di mana bo?
BalasHapusYang sekarang apa hutang 2 tahun lalu, Mas? Dua-duanya ke keluarga, teman, dan handai taulan
Hapus