Image dari Eirik Skarstein |
Authorized Reseller of Undur-undur Bang Jupri
making doodles by moving backward
The Art of Taking a Break
Ingin Belajar Menulis Fiksi
Bismillah.
Bu Wawan, guru Bahasa di SMA saat itu, suatu kali mengajar tentang paragraf deskriptif. Beberapa siswa diminta untuk maju lalu membuat beberapa kalimat dari gambar yang dipilih secara acak dari buku.
"Jangan saya, jangan saya, jangan saya..." batin saya, sambil menghindari kontak mata dan pura-pura serius.
Bu Wawan membaca daftar presensi, seperti sedang memutar mesin slot. Ia mengambil satu nama lagi, melanjutkan siswa-siswa sebelumnya yang duluan dipanggil dan ditertawakan karena memberikan jawaban yang tidak nyambung dengan gambar.
Gambar dari Thought Catalog |
"Prabowo... Silakan ke depan."
Modar. Saya bangkit berdiri, melangkah lemas seperti mayat hidup yang jiwanya sudah digiring duluan.
Bu Wawan menyebut sebuah halaman, yang lalu saya buka perlahan dengan jemari yang sudah basah berkeringat sejak tadi, sambil berharap gambar yang keluar mudah untuk diterjemahkan menjadi cerita.
Sebuah ilustrasi yang di dalamnya terdapat dua orang lelaki, seorang duduk dengan meja dan seorang lagi berdiri di depannya.
"Dari gambar dapat kita lihat..." Saya memulai kalimat, sekadar untuk mengisi kekosongan yang panjang karena kepala saya belum berisi apa-apa.
"... seorang pria memakai pakaian yang tidak senonoh."
Sontak seisi kelas tertawa. Lebih keras dari sebelum-sebelumnya. Rasa malu, gugup, takut dimarahi, bercampur aduk di dalam dada. Saya memandang ke arah Bu Wawan yang berusaha menenangkan kelas. Raut wajah beliau menunjukkan aura keheranan.
"Dari mana pakaiannya tidak senonoh?" tanya beliau.
Saya berpikir cepat. "Karena pria di gambar tersebut memakai sandal, Bu," jawab saya seadanya. Beliau mengangguk-angguk tanda persetujuan yang agak dipaksakan. "Oke, silakan dilanjutkan," ujar beliau.
Kalimat-kalimat berikutnya yang keluar dari mulut yang gemetaran ini pun tak kalah imajinatif dan kembali memancing seisi kelas untuk tertawa. Semakin lama, semakin tidak nyambung. Walaupun saya sudah membela diri dengan memberi penjelasan yang, sayangnya, sama-sama tak masuk di akal.
"Oke. Cukup, ya," Bu Wawan menyudahi pertunjukan lawak dengan seorang badut sebagai lakon utama. Saya kembali ke tempat duduk. Sepintas dilihat, beberapa teman sekelas masih memegangi perut atau menutupi wajah mereka sendiri.
Di mana salahnya? Apakah gambarnya terlalu sederhana, dan minim informasi? Ataukah daya fantasi saya yang kurang dilatih? Atau mungkin ini panic attack saja karena disuruh tampil di depan umum tanpa persiapan? Oh, kenapa saya tidak bisa membayangkan bahwa gambar itu menunjukkan seorang pekerja yang menghadap atasannya, untuk minta naik gaji misalnya? Pikiran ini berkecamuk, bahkan sampai bertahun-tahun setelah itu.
Setelah saya timbang-timbang, saya ingin ikut kelas kepenulisan dan membuat fiksi. Membuat plot, menentukan karakter, menghasilkan karya yang syukur-syukur bisa menginspirasi banyak orang. Paling minimal, seperti kisah di atas, belajar melihat dari sudut pandang berbeda hal-hal yang sebetulnya biasa saja.
Lebaran Tahun Ini
Bismillah.
Semakin berumur, semakin saya merasa bahwa hari raya terus berkurang impresinya. Lambat laun tanpa kesan. Dilalui sebagai sebuah ritual ibadah yang melulu itu. Bukan kehilangan makna, tapi menjadi kurang khusyuk saja. Layaknya sholat yang dikerjakan secara otonomus. Perasaan barusan takbir, tahu-tahu udah salam. Dan ternyata, "banyak kok yang merasa seperti itu," kata Markonah. "Itu 'kan karena kamu sudah tua."
Ketupat (gambar dari Mufid Majnun) |
Si Markonah sebagai introvert yang tervalidasi pernah ngomong.
"Bisa berhenti?"
"Dari apa?"
"Dari berharap untuk mendapat tempat khusus di hati teman, atau siapapun yang berusaha kamu hubungi kalau kita kebetulan lagi mudik."
Saya perhatikan hidup si Markonah ini bagaikan bakteri golongan mikrococcus. Bisa hidup soliter tanpa bergerombol. Ditandai setiap pulang kampung selalu tidak ada acara yang diikuti. Tanpa bukber. Tanpa kongkow-kongkow bin nongki-nongki ganjen.
"Aku niat pulang cuma satu, mau kumpul sama orang tua," katanya membelah diri, eh membela diri.
Mungkin sudah saatnya kita menyadari, bahwa kita berada di rantai makanan paling dasar. Kurang mendapat prioritas. Terbukti kalau ada bukber tidak ada yang japri. Pesan WA selalu kosong dengan pesan dari sahabat, yang sekadar tanya kabar pun tak ada. Kalau ada kumpul-kumpul nggak pernah diajak. Tanpa harapan akan ikut datang.
Roti dan Sirkus
Image from Arnaud Jaegers |
Already long ago, from when we sold our vote to no man, the People have abdicated our duties; for the People who once upon a time handed out military command, high civil office, legions — everything, now restrains itself and anxiously hopes for just two things: bread and circuses
Yang diterjemahkan secara bebas menjadi "selama roti dan sirkus tersedia, orang tidak akan melakukan pemberontakan". Amat sangat wajar jika kualitas pemilih menjadi menurun, ketika yang jadi perhatian kebanyakan orang adalah makanan gratis dan jogetan.
Tes Kesakitan
Gambar dari Gonzalo Kenny |
2024
Bismillah.
Tahun 2023 dilewati dengan penuh perdjoeangan. Pabrik banyak kusutnya. Kuliah masuk proposal thesis. Side-project ternyata cukup menyita fokus. Penat juga rasanya, tapi dijalani dulu dengan banyak-banyak pasrah. Yang penting jangan lupa bahwa perjalanan kita itu adalah hasil dari peran Sang Navigator.
A photo by Todd Kent |
Markonah dan anak juga punya cerita sendiri-sendiri. Markonah mulai "ngajar" walau sekadar online. Anak juga masuk SD. Masih penyesuaian (terutama jadwal di pagi hari), misalnya belajar cebok sendiri habis boker. Pokoknya tahun ini banyak hal yang perlu disyukuri.
Satu Dekade di Tangerang
Bismillah.
Tak terasa sudah 10 tahun saya ber-KTP Kota Tangerang. Seperti nasib, kepindahan status kependudukan ini juga tanpa rencana. Kebetulan karena Abang saya pindah duluan di tahun 2013. Ceritanya panjang. Sepanjang fase kehidupan yang berubah selama satu dekade ini. Mulai dari menjadi pekerja rantau yang hidup sendiri, menikah, sampai punya anak.
Pohon jeruk 2014, sempat menjadi teman kesepian |
Jujur saya bersyukur tinggal di sini, menjadi salah satu dari 2 juta orang Tangerang lainnya. Namun, dari yang kami lihat (dan hasil diskusi dengan Markonah juga), kota ini mungkin tak cocok untuk semua orang. Salah satu penyebab utamanya mungkin terkait kepadatan penduduk. Dengan karakter kami yang "enggan berinteraksi sosial", kami merasa kurang bisa sehati. Ada rencana untuk, suatu saat, tinggal di kota berbeda yang lebih, apa ya, agak sulit memilih kata yang pas, humanis mungkin.
Markonah punya opini, mungkin ini justru terkait habit kami yang sangat jarang pergi ke mana-mana. Jarang melakukan eksplorasi, sehingga sudut-sudut kota ini yang menarik, belum pernah kami lihat. Saya sendiri belum pernah ke kawasan kuliner Pasar Lama, yang katanya melegenda di media sosial.
Kota ini padahal punya nilai yang kaya. Sejarah perjuangan, budaya, makanan khas, demografi. Entahlah, mungkin butuh waktu lebih lama untuk benar-benar menjiwai menjadi warga kota dengan tagline "akhlakul karimah" tapi punya banyak lapas ini.