Masa Kecil Kurang Bahagia

Bismillah.

Dulu sempat populer istilah tersebut. Biasanya merujuk pada orang-orang yang sudah terlanjur dewasa tapi tak menikmati kebahagiaan pada saat kecil. Akibatnya terlambat "bermain".

Menurut Annie Wright, seorang psikoterapis, ada 5 tanda masa kecil seseorang kurang bahagia. Salah satunya adalah selalu merasa insecure. Persepsi terhadap dirinya sendiri sering kali kacau. Tidak bisa tampil di masyarakat dengan ketakutan akan diremehkan.

Kami sebagai orang tua berharap anak akan tumbuh dengan bahagia, agar kelak saat dewasa ia menjadi pribadi yang bahagia juga. Biarlah jika memang kedua orang tuanya harus merasakan "kekurangan" ketika kecil, dan jangan menurun ke anak. Semoga Tuhan juga turut Membantunya tumbuh. Aamiin.

Ukuran Rumah Yang Ideal

Bismillah.

Masih ngomongin tentang rumah, melanjutkan tulisan terdahulu. Khususon tentang "ukuran luas rumah yang ideal itu sebetulnya berapa?"

Bagi kami, agak menghindari perluasan ke atas. Selain karena bisa jadi budget yang disiapkan akan membengkak dan menyamai biaya "beli rumah 1 lagi dengan luasan yang sama", melihat rumah orang tua yang (menurut saya pribadi) terlalu luas dan besar dan lantai dua tidak terlalu difungsikan. Selain itu, kalau sudah 60 tahun ke atas, mobilitas memang agak sulit.

Kalau Markonah, tidak mau rumah 2 lantai karena takut hantu. Hais.

Hidup di Desa

Bismillah.

Pernyataan "desa akan memberikan kehidupan yang lebih tenang", kata Markonah, perlu diperdebatkan. Karena, masih menurut Markonah nih ya, drama kehidupan yang terjadi di desa bisa jadi lebih kompleks daripada kehidupan perkotaan. Kecuali, mungkin, desanya benar-benar terisolir dan orang-orangnya sangat jarang bersosialisasi. Intinya, karakter dan latar belakang manusia yang berbeda membuat kita juga harus memikirkan apa pandangan masyarakat terhadap kita.

Contoh, kalau kita kerja dari rumah tapi di desa yang banyak (maaf) orang-orang yang kurang berpendidikan tinggi, maka bisa jadi kita digerebek dan dianggap jadi babi ngepet setiap malam. Sampai-sampai ada user di forum remote working cerita, akhirnya dia melamar pekerjaan menjadi guru di salah satu institusi pendidikan. Jadi, kalau ditanya orang kerja di mana, dia bakal jawab "saya ngajar". Walaupun per bulan sudah dapet ribuan dolar dari luar negeri.

Ramadan

Bismillah.

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita dipertemukan kembali dengan bulan yang membuat kita merenungi perjalanan hidup, menobati setiap kekhilafan, memotivasi diri untuk tepa selira, meningkatkan kualitas ibadah. Ada berapa banyak orang yang meninggal, padahal sudah hampir maghrib di akhir bulan Sya'ban? Adakah kita berpikir ke situ?

Rasa-rasanya agak males dengan perilaku "si Paling Ramadan". Seolah-olah yang paling berhak memaknai bulan suci ini, namun tidak dengan hal-hal yang esensi. Bulan puasa adalah hype untuk hal-hal yang sebetulnya simbolik. Artefak. Padahal, bulan puasa itu bukan pamer bukber dengan niat menunjukkan bahwa diri yang paling sosial dan banyak sirkel. Bukan tentang baju baru, THR, menu sahur dan berbuka yang melimpah ruah beraneka rupa.

Soal bukber, sejauh yang saya ingat, cuma beberapa kali bukber itu berkesan. Dengan keluarga, dan dengan anak yatim, atau dengan teman yang emang deket banget. Sisanya rasanya... apa ya? Hampa aja gituh. Mulai dari yang pilih tempat di restoran mewah dengan saus di piring dicoret, sampe absen sholat maghrib. Mulai dari pamer outfit dan dandanan menor, sampai topik obrolan yang.. ya gitu lah. Duniawi. Kosong rasanya.

Bukan bermaksud untuk menentang silaturahmi dan jadi anti dengan jabat tangan, tapi kalau diundang bukber biasanya kami mikir-mikir dulu. Bukber di luar kan berarti tidak makan di rumah, yang mungkin saja bikin kecewa orang rumah yang udah repot masak. Atau nanti dateng dulu, tapi ngumpulnya sama sirkel yang kira-kira kagak flexing.

Kalau bukber bareng anak panti asuhan itu kita jadi mikir, "Oh, mereka ini adalah anak-anak yang puasanya mungkin sepanjang tahun". Kita bisa melihat dari tatapan mereka, bahwa mereka berterima kasih sudah dibersamai. Walau mungkin yang kita berikan kita anggap nggak seberapa.

Buru-buru

Bismillah.

Ada keponakan yang sedang tinggal di rumah. Hampir seminggu. Usianya beberapa bulan saja lebih tua dari anak kami. Di suatu pagi, dia tanya.

Kenapa Arin tidak buru-buru?

Mungkin sudah menjadi karakteristik keluarga kami, segala hal dibikin santai. Bukan tidak serius, tapi lebih ke "tidak buru-buru". Tidak mesti berangkat sekolah dan kerja dari subuh hari. Makan bisa lambat-lambat. Saya sendiri bekerja masih dari rumah. Istri juga di rumah. Bisa makan sama-sama, dan bertemu sepanjang hari.

Ini berbeda dengan kebiasaan di keluarganya. Ayah berangkat ke kantor pagi-pagi. Anak pertama dan kedua harus berangkat sekitar jam 5:30 bersama Ibu yang juga bekerja. Sarapan, mandi, aktivitas pagi, dilakukan dengan cepat. Di rumah tidak ada orang sampai agak siang. Rame lagi nanti menjelang malam.

Menjadi salah satu dari sedikit bagian keluarga Indonesia yang "tidak harus buru-buru". Inilah pilihan hidup yang rasanya tidak populis, tapi kami syukuri.

Panjang Angan-angan

Bismillah.

Dalam islam memang tidak dianjurkan untuk panjang angan-angan. Ingin ini ingin itu banyak sekali, dan berharap ada kantung ajaib yang mengabulkan. Dengan sisa waktu yang semakin tergerus, sudah selayaknya kita makin tidak tertarik dengan dunia, yang sebentar lagi juga bakal ditinggalkan.

Betapa banyak orang yang ketika usianya sudah senja, menyesali banyaknya kesia-siaan yang dilakukan semasa muda. Tidak berusaha untuk dekat dengan Tuhan. Berharap lebih banyak waktu yang ia pakai untuk beribadah, menjalin hubungan dengan kerabat dan handai taulan. Semua hal yang diimpikannya sekarang, sudah sulit dilakukan dengan keterbatasan fisik.

Jantung mungkin sudah pakai alat. Berkali-kali naik meja operasi. Ginjal tinggal sebelah. Boro-boro santan, garam, micin, dan makanan enak-enak lainnya, makan nasi nambah dikit aja sudah ngeri gula naik. Mau melangkah ke masjid, tapi apa daya raga tak sekuat dahulu. Belum lagi kalau antrian haji masih 15 tahun lagi.

“Jika engkau berada di petang hari, janganlah tunggu sampai datang pagi. Jika engkau berada di pagi hari, janganlah tunggu sampai datang petang. Manfaatkanlah waktu sehatmu sebelum datang sakitmu. Manfaatkanlah pula waktu hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Bukhari, no. 6416)

Tidurlah Tidur

Bismillah.

Banyak orang menyepelakan tidur. Padahal istirahat adalah salah satu pemberi kekuatan. Mungkin itu juga hikmah kalau sholat tahajud itu kudu tidur dulu. Biar kuat, gitu.

Tidur membantu otak supaya tenang. Sejenak melupakan beban hidup. Masalah yang tak kunjung selesai, seolah tanpa solusi. Suasana hati membaik. Emosi sedikit mereda. Berat badan normal. Ketika tidur, memori-memori dalam ingatan saling berkoneksi. Merajut mimpi, mengukir asa. Saat bangun tidur, perasaan berubah. Setidaknya ada yang berbeda.

When in doubt, sleep.

About Me