Katanya, sulit memisahkan kehidupan pria dan permainan. Kisah pertemuan ane sendiri dan dunia game bermula dari SD kelas 5. Saat itu memang musim Nintendo. Sempat merengek menangis banting pintu mencak-mencak ingin dibelikan. Kalau tidak salah harganya masih Rp 90 ribu. Dengan uang jajan hanya Rp 3ribu sebulan, maka perlu waktu 30 bulan agar mimpi itu terwujud. BEP-nya terlalu lama. Mustahil menabung selama itu, dengan asumsi tak pernah jajan dan beli buku.
Sempat diberi alasan oleh Ibu bahwa :
- Game akan merusak kehidupan kita, minimal membuat kita jadi malas belajar dan bodoh.
- Game akan merusak TV kita.
Entah kenapa justru alasan kedua yang membuat urung beli. Soalnya jaman dahulu, di kampung ane, TV (apalagi yang berwarna) adalah sebuah kemewahan tak terkira. Jadi, untuk main game (yang layaknya seperti heroin bagi pecandu narkoba), biasanya numpang di rumah saudara atau teman. Hanya sesekali.
Sampai suatu ketika, saat sunat kelas 1 SMP, Ibu akhirnya membelikan sebuah PS. Bukan Play Station™, tapi Power Station. Tiruan Nintendo yang bentuknya seperti Play Station™. Bahkan, bentuk dan logonya sama persis. Buatan Cina, biasa lah. Kegemaran (lebih tepatnya kecanduan) bermain game ini berlanjut terus.
Dari situlah, sebuah dunia paralel bermula. Sebuah dunia lain yang, ketika kita masuki, maka akan sulit untuk keluar. Dunia di mana kita bisa menjadi siapa saja, atau lebih tepatnya, apa saja. Sebuah dunia lain, seperti The Matrix. Dunia mimpi yang kadang susah dibedakan dengan dunia nyata, seperti pada Inception. Dunia yang, kalaupun kita mati, masih ada 2 nyawa tersisa. Kalaupun nyawa habis dan permainan berakhir, tinggal diulang dan dicoba lagi. Hmm.. Utopia!
Tak heran, di warnet-warnet sering kita lihat, anak-anak bermain game tak kenal waktu, bahkan sampai menginap berhari-hari. Boleh jadi anak-anak ini semi-broken-home. Mereka takut untuk kembali ke rumah, ke keluarga yang bermasalah, ke dunia sebenarnya. Jadilah, di game online, sebagai tempat pelarian.
Prestasi akademis pun sebetulnya tak hancur-hancur amat. Peringkat kelas di sekolah tak pernah sampai 2 digit. Pernah mewakili sekolah lomba matematika dan olimpiade (walau kalah). Alhamdulillah, masih bisa keterima di UGM, jurusan ilmu komputer pulak.
Pendapat pribadi :
Dari situlah, sebuah dunia paralel bermula. Sebuah dunia lain yang, ketika kita masuki, maka akan sulit untuk keluar. Dunia di mana kita bisa menjadi siapa saja, atau lebih tepatnya, apa saja. Sebuah dunia lain, seperti The Matrix. Dunia mimpi yang kadang susah dibedakan dengan dunia nyata, seperti pada Inception. Dunia yang, kalaupun kita mati, masih ada 2 nyawa tersisa. Kalaupun nyawa habis dan permainan berakhir, tinggal diulang dan dicoba lagi. Hmm.. Utopia!
Tak heran, di warnet-warnet sering kita lihat, anak-anak bermain game tak kenal waktu, bahkan sampai menginap berhari-hari. Boleh jadi anak-anak ini semi-broken-home. Mereka takut untuk kembali ke rumah, ke keluarga yang bermasalah, ke dunia sebenarnya. Jadilah, di game online, sebagai tempat pelarian.
Prestasi akademis pun sebetulnya tak hancur-hancur amat. Peringkat kelas di sekolah tak pernah sampai 2 digit. Pernah mewakili sekolah lomba matematika dan olimpiade (walau kalah). Alhamdulillah, masih bisa keterima di UGM, jurusan ilmu komputer pulak.
Pendapat pribadi :
- Bermain game dapat meningkatkan kemampuan berpikir logis, skill motorik, reflek, dan problem solving.
- Game tidak membuat kita menjadi bodoh.
Pendapat bini :
- Bermain game sangat membuang waktu. (Oh, dan nonton Nakusha tidak termasuk membuang waktu..)
- Game itu hanya menipu. Yang jadi sasaran adalah orang-orang pintar, bertujuan supaya sebuah negara itu hancur karena orang-orang pintarnya sibuk bermain game.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
speak now or forever hold your peace