Bismillah.
Di masyarakat plus enam dua, mungkin kita sering lihat stigma sosial yang jauh lebih berbahaya daripada kena penyakit kritis. Sebutannya apa ya yang pas? "Penyakit sosial", mungkin. Dikata-katain, diobrolin di belakang, dan mungkin beberapa pendapat tak menyenangkan yang semisalnya.
"Suaminya di rumah terus, mungkin piara tuyul, atau kalau malem jagain lilin"
"Udah berapa hari ini gak pernah kelihatan, kayaknya sih kena Covid"
"Entah apa aliran islamnya tuh, diajakin tahlilan kagak dateng. Teroris kali?"
"Tuh lihat, keluarga ituh kemarin diajakin ngumpul nggak mau. Sombong amat"
Parameter-parameter kesombongan yang dibuat oleh para tetangga ini, seyogyanya kita sebut sebagai penyakit sosial. Tidak ada yang salah dengan kumpul-kumpulnya. Yang menurut ane keliru, materi obrolannya itu lebih sering tidak berkualitas.
Mungkin ini juga terkait status sosial dan lingkungan. Kalau di sekitar kita lebih banyak (mohon maaf) uneducated-nya, harus siap dengan drama emak-emak atau obrolan bapak-bapak yang tak jauh dari hoax seputar cara menaikkan valuasi burung.
Alangkah patut diberi rasa iba, ketika orang beramai-ramai pansos hanya dengan standar kehidupan yang dibuat orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
speak now or forever hold your peace