Bismillah.
Tak terasa sudah 10 tahun saya ber-KTP Kota Tangerang. Seperti nasib, kepindahan status kependudukan ini juga tanpa rencana. Kebetulan karena Abang saya pindah duluan di tahun 2013. Ceritanya panjang. Sepanjang fase kehidupan yang berubah selama satu dekade ini. Mulai dari menjadi pekerja rantau yang hidup sendiri, menikah, sampai punya anak.
Pohon jeruk 2014, sempat menjadi teman kesepian |
Jujur saya bersyukur tinggal di sini, menjadi salah satu dari 2 juta orang Tangerang lainnya. Namun, dari yang kami lihat (dan hasil diskusi dengan Markonah juga), kota ini mungkin tak cocok untuk semua orang. Salah satu penyebab utamanya mungkin terkait kepadatan penduduk. Dengan karakter kami yang "enggan berinteraksi sosial", kami merasa kurang bisa sehati. Ada rencana untuk, suatu saat, tinggal di kota berbeda yang lebih, apa ya, agak sulit memilih kata yang pas, humanis mungkin.
Markonah punya opini, mungkin ini justru terkait habit kami yang sangat jarang pergi ke mana-mana. Jarang melakukan eksplorasi, sehingga sudut-sudut kota ini yang menarik, belum pernah kami lihat. Saya sendiri belum pernah ke kawasan kuliner Pasar Lama, yang katanya melegenda di media sosial.
Kota ini padahal punya nilai yang kaya. Sejarah perjuangan, budaya, makanan khas, demografi. Entahlah, mungkin butuh waktu lebih lama untuk benar-benar menjiwai menjadi warga kota dengan tagline "akhlakul karimah" tapi punya banyak lapas ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
speak now or forever hold your peace