Terlambat

Bismillah

Setiap pagi. Kita berangkat bekerja. Anak-anak pergi ke sekolah. Pedagang membuka lapaknya di pasar. Ibu-ibu pergi berbelanja. Berapa kali kita dengar, ayo cepat nanti terlambat, atau semacamnya. Terlambat. Kata ampuh yang membuat orang tergesa-gesa, buru-buru, bergegas, tergopoh-gopoh. Karena takut terlambat. Mengapa? Apakah sebanding, rasa takut yang kita rasai, dengan hasil yang kita dapat ketika kita tepat waktu?

Memangnya, apa konsekuensi paling maksimal dari keterlambatan kita?

Semua yang kita kejar di dunia, rasa-rasanya tiada mengapa kalau terlambat. Dalam sholat berjamaah saja, kalau terlambat masih ada kesempatan untuk masbuk. Masak untuk urusan dunia pun harus berkejar-kejaran dengan waktu? Otak dan hati kita pun senantiasa dinaungi rasa khawatir. Kalau terlambat tiba di tempat kerja, potong gaji. Terlambat sampai di kelas, kena sanksi oleh guru. Terlambat ke pasar, ndak kebagian ikan segar.

Yang paling parah sering didengungkan di telinga, jangan terlambat bangun pagi nanti rejeki dipatok ayam. Ini kan salah kaprah? Padahal rejeki ayam ya rejeki ayam, rejeki kita ya rejeki kita! Rejeki kita dan rejeki ayam sudah pisah dari sononya. Ndak ada itu ceritanya rejeki kita kok jadi rejekinya ayam kalau kita terlambat bangun pagi.

Jam tangan pun sebenarnya adalah penemuan absurd bin ndak masuk akal. Diciptakan supaya orang tiap saat melihat sekarang itu jam berapa, menit ke berapa, kalau perlu sampe ke detik-detiknya pula. Ini kan konyol? Ndak usah lah sampe segitu-gitunya gila waktu. Lihat-lihat saja sekeliling, kalau sudah adzan ya sholat, kalau lapar ya makan, tubuh kita sudah punya alarm biologis. Toh jaman dulu orang ndak pake jam tangan hidupnya bahagia-bahagia sahaja. Mengapa membuat kehidupan kita jadi lebih rumit? Senenganè kok repot.

Contohlah orang-orang kampung kalau punya hajat macam akikahan. Undangannya cuma bilang, kumpul di tempat Pak Nganu ba'da 'Isya. Nggak pake jam-jaman. Kalau ada yang dateng duluan ya nunggu dulu sambil ngobrol sama yang juga dateng duluan. Hla orang kota kalau janjian meeting di cafe jam segini, toh datengnya pasti telat dengan alasan macet. Padahal jam tangannya harga lima juta perak. Hla apa ndak goblok itu namanya?

Sudahlah. Ndak usah peduli jam berapa sekarang. Hidup ya hidup saja ndak usah khawatir dengan sekarang itu jam berapa. Ndak usah sering-sering lihat jam. Hidup kok diatur-atur.

Salam hangat dari Palmerah.

1 komentar:

  1. LOL

    Waktu yang dibagi jadi jam/menit/detik ini kan buatan manusia. Eh tapi manusia belahan bumi mana?


    Klo manusia tropis memang kecenderungan memganggp waktu seperti uang Bowo tuliskan di sini.

    BalasHapus

speak now or forever hold your peace

About Me