Jogja

Bismillah

Dua hari kemarin saya ke Yogyakarta. Ceritanya Sigit nikah. Sekalian kondangan sekalian main sama Gamal, Adya, Vita, Husein, dan sempat mampir ke ruma Dita dan Ekgik di Bantul.


Seperi biasa, kondangan pake sepatu futsal. Ini membuktikan sebenarnya kita hanya butuh satu pasang sepatu untuk hampir segala situasi: kerja, maen, olahraga, termasuk ke resepsi nikah. Hidup minimalis.

Terus terang Jogja bisa jadi altenatif kota yang hendak dijadikan tempat hidup. Tenang, udara bersih, budaya, pendidikan, orang-orangnya, living cost, tata kota, indeks kebahagiaan, dan paling tidak di Jogja tidak mati lampu 4 jam sehari seperti Kubu Raya. Mungkin tinggal masalah waktu sahaja untuk hijrah.

Jogja akan punya lapangan terbang baru di Kulonprogo, dan akses ke hampir semua kota besar di Jawa bisa dicapai dengan berbagai macam moda transportasi. Dari sekian banyak hal baik tentang Jogja, yang agak mengkhawatirkan menurut saya adalah kondisi jalan dan kebiasaan / karakter penduduknya. Jogja sudah mulai macet di beberapa titik saat akhir pekan. Jogja juga tidak seramah ketika saya kuliah tahun 2004 silam. Jogja sudah berubah. Bisa jadi juga karena sudah terlalu plural dan banyak pendatang.

Di kereta saya sempat bersebelahan dengan (meminjam istilah Tyler Durden dalam film Fight Club) one of the most interesting single-serving friend atau teman satu porsi yang menarik. Lulusan ekonomi UGM tahun 2004 dan menghabiskan 8 tahun bekerja di salah satu perusahaan otomotif ternama. Orang cerdas. Mengapa beliau keluar?

Ini salah satu quotenya

"Ketika ada orang tidak butuh mobil, kita pengaruhi untuk beli mobil. Itu belum jahat. Tahu tidak apa yang lebih jahat? Ada orang, secara finansial jelas-jelas tidak mampu beli mobil, tapi kita pengaruhi untuk beli mobil, dengan cara hutang dan pakai bunga pula. Di situ batin saya bergejolak"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

speak now or forever hold your peace

About Me