Dari Fikri Rasyid (http://fikrirasyid.com) saya membaca salah satu tulisan di Gizmodo tentang biografi singkat Steve Jobs.
1990. About this time, Jobs meets Laurene Powell, when he speaks at a class at Stanford business school. They exchange numbers. Jobs had a business dinner that night. "I was in the parking lot,with the key in the car, and I thought to myself, If this is my last night on earth, would I rather spend it at a business meeting or with this woman? I ran across the parking lot, asked her if she'd have dinner with me. She said yes, we walked into town and we've been together ever since."Yang menarik menurut Fikri adalah kemampuan Steve dalam menentukan hal yang penting dan mana yang tidak penting : defining what's essential
Saya berjanji akan datang ke pernikahan salah seorang teman di Probolinggo, Jawa Timur. Untuk itu, cuti 4 hari kerja (dan saya masih punya jatah 6 hari cuti yang tidak saya ambil dengan alasan menyelisihi tabiat PNS yang tiada produktif) sudah saya ajukan jauh-jauh hari. Saya juga beniat mampir ke Yogyakarta, Solo, Karanganyar, dan Surabaya, selain untuk silaturahmi, juga menjajaki kemungkinan merintis bisnis sampingan. Rencana saya matang, sempurna, terpikirkan, tak terbantahkan, serba terukur. Saya anggap saya Nabi dari Nabi para CEO dunia, walau isi kantong cuma bisa pesan tiket kereta api kelas gembel hore yes-yes mmuahh.
Apa daya, kabar via telpon tadi malam harus mengubah semua rencana cuti.
Ayah saya sakit, masuk RS, dan mesti operasi pagi ini juga. Saya terdiam cukup lama. Mikir. "Orang rumah tidak suruh saya pulang". "Operasi Ayah tergolong ringan". "Ayah pasti sembuh, ada Kakak yang menjaga Ayah di rumah". Semua 'excuse' itu melayang dalam kepala. Seandainya saya adalah Steve, apa yang harus saya pilih? Mana yang sebenarnya lebih penting?
Saya sudah putuskan, berada di samping Ayah saat ini adalah hal yang tak bisa dibandingkan dengan hal-hal sepele semacam berlibur ke luar kota. Yang lebih parah, seumur hidup boleh jadi satu kali pun saya tidak pernah menyenangkan hati beliau. Saya harus pulang secepatnya. Dan di sinilah saya sekarang, menunggu penerbangan pertama ke kampung halaman. Asalkan dimulai dengan nama Tuhan, ula kanan, dan akhir kebaikan, doa Ibu sepanjang jalan.
-- Cengkareng, sebelum matahari terbit
hore!
BalasHapus