Jakarta

Bismillah.

Macet. Berisik. Polusi. Preman. Banjir. Mahal. Kibulisme. Mehong.

Affair : Obrolan Tentang Jakarta (foto dari sini)
Jika ada kompetisi pemilik kebencian paling masif terhadap Jakarta, insya Allah saya masuk dalam daftar nominasi pemenangnya. Jakarta saya anggap momok, boleh jadi karena pengaruh buku Seno Gumira Ajidarma yang judulnya "Affair: Obrolan Tentang Jakarta". Affair bercerita tentang Homo Jakartensis (sebutan Seno untuk orang-orang Jakarta dengan kehidupan yang absurd).


Tentang air kencing supir taksi yang menguap, tentang pemilik Mercedes yang kalau malam pulang ke gang sempit nyetir lamat-lamat sambil di kanan kirinya ada bapak-bapak sedang kipas-kipasan main karambol pakai kaos singlet, tentang kepribadian sendal jepit di kawasan bisnis Segitiga Emas, tentang dasi para yuppies yang berkibar sambil naik ojek sepeda, tentang keramahan bisnis orang HRD dengan sepatu hak tinggi tik-tok-tik-tok dan senyum yang kadang membuat orang ingin muntah, atau tentang berhala bernama "semoga sukses", tentang konotasi lain dari kata 'mobil'. Jika Anda termasuk orang yang sinis dan juru hina, buku ini sungguh saya rekomendasikan untuk dibaca. Nyiahahaha.

Bagai menjilat ludah sendiri, tanpa terasa saya sudah berada di sini. Setahun. Di kota yang dulu saya cela habis-habisan, saya benci hingga ke ubun-ubun sedemikian sehingga saya berjanji sampai mati tidak akan mau hidup di sini. Setahun. Bercampur dengan sekitar 13 juta Homo Jakartensis yang lain. Setahun. Teman saya bilang, kalau sudah setahun harusnya sudah sampai di level 'pasrah', berdamai dengan Jakarta. Mungkin Tuhan juga mau Bilang, "Kalo benci, jangan benci-benci amat kali Bro.. Pffftt."

Dari yang bisa saya simpulkan, hidup di Jakarta ini memang benar-benar ajaib! Pengalaman ajaib pertama saya adalah ngobrol sama orang asing di bus Damri. Selanjutnya, layaknya pengalaman-pengalaman ajaib Homo Jakartensis yang lain, saya juga pernah hampir kecopetan, ketemu orang menyayat tangan dan leher dengan silet demi recehan (ini sumpah nggak jelas banget), sampai yang terakhir digrepe-grepe sama Om-om di dalam bus Trans Jakarta (dan tentu saja tanpa banyak cingcong langsung saya tanggapi dengan tepisan dan kabur turun di shelter terdekat).

Mungkin perlu banyak sekali kata kalau kita mau membuat daftar keunikan Jakarta. Ini adalah tempat orang dari segala penjuru Indonesia berkumpul. Selalu saja ada dimensi yang luput dari pengamatan. Tentang gengsi warga Jakarta yang punya mobil mewah tapi hidup mengontrak di sebuah jalan sempit di Tambora, tentang arisan antar komuter di dalam KRL jurusan Bogor - Pasar Rebo, atau mungkin soal orang kelahiran Jakarta yang hidup puluhan tahun tapi belum pernah sekalipun naik ke Monas.

Walau tidak punya KTP Jakarta, tentu semua orang punya mimpi supaya kota ini jadi tempat terbaik untuk segala hal, bukan hanya untuk sekadar mencari uang. Tidak dapat dipungkiri, it's the best place to make money, but the worst one for living. Perekonomian Indonesia berpusat di sini. Menurut saya pusat pemerintahan jangan pula terletak di sini. Hasil Pilkada nanti akan jadi salah satu momen penting untuk jutaan orang yang hidupnya bergantung di sini.

Setahun setelah mencoba menerima nasib, saya rasa sudah saatnya untuk memaklumi kota ini. Nyatanya, ini juga bukan tempat yang jelek-jelek amat. Saya merasa lebih gampang gelar lapak di sini daripada di kampung kelahiran. Lebih mudah mendapatkan fasilitas kesehatan, pendidikan, transportasi, dan yang pasti di sini nggak pernah mati lampu setiap 2 hari sekali. Sudah sepantasnya kita bersyukur, dan jangan terlalu banyak mengeluh. Toh, ada juga pasangan suami istri yang bisa bertahan hidup di dalam gerobak ukuran 2 kali 1 meter yang mepet pagar di kawasan Sudirman.

Rencana saya adalah sampai dulu di titik di mana saya punya cukup modal untuk memulai hidup di desa yang tak terjangkau Google Maps, menikmati segarnya udara pagi sambil memandang matahari terbit, bersama orang-orang yang saya cintai. Sementara itu, saya coba kumpulkan aset dan menahan aroma pesing bekas kencing supir taksi. Bagaimana dengan Anda? Apa harapan Anda untuk Jakarta?


4 komentar:

  1. jadi, sangprabo cinta jakarta?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya dan nggak. Iya, karena menerima nasib harus hidup di bagian bumi Tuhan yang ini. Nggak, semacam selalu rindu dan berharap bisa dikubur di tanah kelahiran.

      Tapi, toh

      "Dalam hidup ini, kita semua hanya musafir" -- @stwn

      Hapus
  2. lagi heboh pilkada DKI, huhu...
    setelah tinggal 12 tahun di Jakarta, dan 1 tahun di Tokyo, mungkin bisa mencontoh penghuni warga Tokyo : menghormati orang lain, tidak mengganggu kepentingan umum dan bepegang teguh pada prinsip hidup, tapi susah ya???
    Jadi inget ngobrol sm orang yang Jepang yang baru selesai business trip ke Jakarta, dia bingung kenapa orang Jakarta mau tinggal di Jakarta, can't say anything ...

    BalasHapus
  3. Hidup di Jakarta emang harus punya bekal. Salah satunya bekal ilmu bela diri :))

    BalasHapus

speak now or forever hold your peace

About Me