Bismillah
Di antara sekian banyak mata kuliah yang saya pelajari dahulu, ada beberapa mata kuliah yang hingga sekarang masih membekas di hati. Salah satunya adalah mata kuliah Etika Profesi yang diampu oleh Pak Tri Kuntoro Priambodo. Mata kuliah Etika Profesi ini sebenarnya tak jauh berbeda dari mata kuliah bertema serupa seperti Pancasila dan Kewarganegaraan, atau Agama Islam, yang berusaha membuat kita semua menjadi orang baik-baik. Saya akan bercerita tentang dua hal yang masih saya ingat : slippery slope dan golden rule.
Slippery Slope / Camel's Nose
Di alun-alun kota Yogya, terdapat dua buah pohon beringin yang dijuluki orang sebagai Beringin Kembar. Jarak antar dua beringin ini kira-kira tak sampai 50 meter. Bayangkan sebuah garis imajiner yang menyerupai "garis finish" yang menghubungkan kedua pohon beringin tersebut. Sekitar 30 meter saja dari "garis finish" tersebut, kita harus menutup mata dengan kain hitam, dan berjalan lurus melewati "garis finish" imajiner tadi.
Mudah? Nyatanya, tak banyak orang yang berhasil! Rata-rata orang akan melenceng jauh dari yang seharusnya.
Mengapa demikian? Bila dikaitkan dengan mitos, konon ini merupakan tantangan dari Sultan Hamengku Buwono (yang entah ke berapa) dalam mencarikan suami untuk putrinya yang cantik jelita. Untuk menyeberangi celah antara dua pohon beringin, diperlukan hati yang tulus nan suci, yang mampu melihat dengan mata hati yang bersih.
Namun, saya punya pendapat lain. Penelitian tentang sekumpulan orang yang disuruh berjalan lurus di tengah gurun atau hutan saat malam hari dan tidak ada petunjuk apapun (tidak ada GPS, kompas, atau tak ada patokan rasi bintang), menunjukkan bahwa mereka akan cenderung berjalan dengan lintasan berbentuk lingkaran. Artinya, setelah selang waktu tertentu, mereka akan kembali ke titik semula.
Boleh jadi, banyaknya orang yang gagal dalam tes Beringin Kembar juga disebabkan oleh alasan yang kurang lebih serupa. Kesalahan sepersekian derajat dalam mengarahkan langkah, bila tidak disadari, akan membuat kita tiba di tempat yang salah.
Bentuk slippery slope / camel's nose seperti ini, alias mengabaikan kesalahan-kesalahan kecil, membentuk pribadi yang rusak seiring waktu berjalan.
Kita merasa bahwa "mencuri" jam kerja adalah hal yang biasa, tapi kita tidak mentolerir korupsi sekian ratus milyar.
Kita menolak mentah-mentah aksi pencurian dan perampokan, tapi iPod touch kita isinya semua adalah lagu-lagu bajakan.
Kita mengutuk sinema cabul atawa hantu-hantuan di negeri ini, dan menuntut kualitas lebih dari industri film bangsa, tapi dengan tak tahu malu kita saling copy file lewat harddisk eksternal berkapasitas ratusan giga byte.
Kita jarang membeli buku-buku bagus, dan dengan jumawa sekadar fotokopi atau mencari versi PDF-nya sahaja.
Kita melanggar lampu lalu lintas saat tak ada polisi, dengan alasan "Toh tak ada yang lihat dan tak ada yang celaka".
Kita mencontek di kelas, dan masih berharap saat kita dewasa kita bisa kaya raya dari rejeki yang berkah?
Cukup. Berhenti memaklumi kesalahan-kesalahan kecil. Dan mulailah mencari kompas, membuka mata memandang langit mencari bulan untuk patokan, dan mulai berjalan lurus.
Di alun-alun kota Yogya, terdapat dua buah pohon beringin yang dijuluki orang sebagai Beringin Kembar. Jarak antar dua beringin ini kira-kira tak sampai 50 meter. Bayangkan sebuah garis imajiner yang menyerupai "garis finish" yang menghubungkan kedua pohon beringin tersebut. Sekitar 30 meter saja dari "garis finish" tersebut, kita harus menutup mata dengan kain hitam, dan berjalan lurus melewati "garis finish" imajiner tadi.
Mudah? Nyatanya, tak banyak orang yang berhasil! Rata-rata orang akan melenceng jauh dari yang seharusnya.
Mengapa demikian? Bila dikaitkan dengan mitos, konon ini merupakan tantangan dari Sultan Hamengku Buwono (yang entah ke berapa) dalam mencarikan suami untuk putrinya yang cantik jelita. Untuk menyeberangi celah antara dua pohon beringin, diperlukan hati yang tulus nan suci, yang mampu melihat dengan mata hati yang bersih.
Namun, saya punya pendapat lain. Penelitian tentang sekumpulan orang yang disuruh berjalan lurus di tengah gurun atau hutan saat malam hari dan tidak ada petunjuk apapun (tidak ada GPS, kompas, atau tak ada patokan rasi bintang), menunjukkan bahwa mereka akan cenderung berjalan dengan lintasan berbentuk lingkaran. Artinya, setelah selang waktu tertentu, mereka akan kembali ke titik semula.
Boleh jadi, banyaknya orang yang gagal dalam tes Beringin Kembar juga disebabkan oleh alasan yang kurang lebih serupa. Kesalahan sepersekian derajat dalam mengarahkan langkah, bila tidak disadari, akan membuat kita tiba di tempat yang salah.
Bentuk slippery slope / camel's nose seperti ini, alias mengabaikan kesalahan-kesalahan kecil, membentuk pribadi yang rusak seiring waktu berjalan.
Kita merasa bahwa "mencuri" jam kerja adalah hal yang biasa, tapi kita tidak mentolerir korupsi sekian ratus milyar.
Kita menolak mentah-mentah aksi pencurian dan perampokan, tapi iPod touch kita isinya semua adalah lagu-lagu bajakan.
Kita mengutuk sinema cabul atawa hantu-hantuan di negeri ini, dan menuntut kualitas lebih dari industri film bangsa, tapi dengan tak tahu malu kita saling copy file lewat harddisk eksternal berkapasitas ratusan giga byte.
Kita jarang membeli buku-buku bagus, dan dengan jumawa sekadar fotokopi atau mencari versi PDF-nya sahaja.
Kita melanggar lampu lalu lintas saat tak ada polisi, dengan alasan "Toh tak ada yang lihat dan tak ada yang celaka".
Kita mencontek di kelas, dan masih berharap saat kita dewasa kita bisa kaya raya dari rejeki yang berkah?
Cukup. Berhenti memaklumi kesalahan-kesalahan kecil. Dan mulailah mencari kompas, membuka mata memandang langit mencari bulan untuk patokan, dan mulai berjalan lurus.
Golden rule
Prinsip golden rule simpel sahaja : perlakukan orang lain layaknya kita ingin diperlakukan, dan jangan hinakan orang lain selayaknya kita tak ingin terhina.
Jika antrian kita tak ingin diserobot, jangan serobot antrian orang lain.
Jika istri kita tak ingin digoda orang lain, jangan menggoda istri orang lain.
Jika rizki kita tak ingin diambil dengan jalan yang batil, jangan mengambil hak orang lain dengan cara yang haram.
Jika pendapat kita ingin didengarkan, beri kesempatan orang lain untuk bicara.
Jika ingin orang lain berlaku profesional, jangan terlalu menuntut bayaran tinggi tanpa melakukan tugas kita.
Jika kita ingin dihormati, segani orang lain.
Santunlah pada Ibu orang lain, dan orang lain akan santun pada Ibu kita. Semua kebaikan yang kita tujukan ke orang tertentu, belum tentu akan berbalik dan berasal dari orang yang kita kasihi. Mungkin saja, berasal dari orang yang lain lagi, entah kapan waktunya. Tetaplah menanam kebaikan, dan tunggulah masa-masa panennya.
Prinsip golden rule simpel sahaja : perlakukan orang lain layaknya kita ingin diperlakukan, dan jangan hinakan orang lain selayaknya kita tak ingin terhina.
Jika antrian kita tak ingin diserobot, jangan serobot antrian orang lain.
Jika istri kita tak ingin digoda orang lain, jangan menggoda istri orang lain.
Jika rizki kita tak ingin diambil dengan jalan yang batil, jangan mengambil hak orang lain dengan cara yang haram.
Jika pendapat kita ingin didengarkan, beri kesempatan orang lain untuk bicara.
Jika ingin orang lain berlaku profesional, jangan terlalu menuntut bayaran tinggi tanpa melakukan tugas kita.
Jika kita ingin dihormati, segani orang lain.
Santunlah pada Ibu orang lain, dan orang lain akan santun pada Ibu kita. Semua kebaikan yang kita tujukan ke orang tertentu, belum tentu akan berbalik dan berasal dari orang yang kita kasihi. Mungkin saja, berasal dari orang yang lain lagi, entah kapan waktunya. Tetaplah menanam kebaikan, dan tunggulah masa-masa panennya.
huwooww.. Bowo is black, eh is back :p
BalasHapusMana ini yang komen? Ndak keliatan...
HapusTerima kasih telah mengingatkan. Tak sadar kerusakan pada diri saya parah, imbas dari pengrusakan diri sedikit demi sedikit.
BalasHapusSama-sama Mas.. Jangan tertipu Mas, semua posting di blog ini berbau #pencitraan. :D
Hapus