Bismillah
Seumur hidup, saya kena tilang baru 3 kali. Saya masih ingat, 2 kali saya ditilang di Yogya. Yang pertama karena buru-buru mau bayar utangan sejuta delapan ratus lima puluh ribu duit kuliah, saya tidak sengaja melanggar pembatas jalan. Eh, ternyata di depan ada bagong nyemprit. Yang kedua karena memang salah saya tidak memperpanjang pajak motor, soalnya kudu gesek mesin di Samsat asal dikeluarkannya STNK, Pontianak. Kena semprit bagong lagi deh..
Yang baru saja terjadi ini, ingin saya ceritakan, karena kalau dipikir-pikir kok agak-agak lucu dan patut ditambahkan ke blog endak mutu ini, sekadar menuh-menuhin biar ndak sepi. Kalau memang gegara tulisan ini saya masuk bui, ya totally worth it lah. Hahahaha..
Suatu Kamis di bulan April, habis maghrib, saya pulang dari pabrik naek montor seperti biasa. Saya masuk jalur cepat di depan Hotel JS Luwansa dengan maksud mengambil putaran mobil/motor tak jauh setelahnya. Entah karena pikiran lagi kusut, plus macet parah, ituh puteran jadi kelewatan dan saya bablas nyari puteran di depannya. Eh, setelah SPBU, ada bagong lagi patroli. Saya diberhentikan, dikasih hormat, diberi "Selamat Malam, Pak!", dan dimintai surat-surat. "Wah, bakal kusut nih.." pikir saya.
Plokisnya beranggapan saya menerobos rambu dilarang masuk jalur cepat. "Kamu jangan-jangan lawan arus juga ya tadi?" plokis menuduh. Masaoloh.. Ini bagong atuk... Pengen deh rasanya waktu itu saya nyanyiin lagunya Asmin Cayder yang judulnya "Salah Tangkap", tapi lebih populer di masyarakat karena dinyanyikan oleh Haji Muhammad Bokir bin Dji'un di film Santet (1988). Kira-kira begini liriknya.
Sumpah mati Bapak Hansip
Saya orang baik-baik
Biar saya pengangguran
Saya tidak panjang tangan...
Sumpah mati Bapak Hansip
Saya orang baik-baik
Jangan cepat main sangka
Kalau tak ada buktinya
Saya orang baik-baik...
Memang serba salah
Jadi pengangguran
Ada yang kehilangan
Penganggur jadi sasaran
Ada yang kehilangan
Penganggur jadi sasaran
Memang serba salah
Jadi pengangguran
Tak ada orang percaya
Biar hutang rokok sebatang
Nasib ya nasib
Kapan hidup akan berubah
Ingin cari kerja
Agar tidak dipandang hina
Pembelaan saya ditepis bulat-bulat. Saya ditanya tempat tinggal, dan disuruh tanda tangan di lembar tilang warna merah. Nasib ya nasib. Kalau lembar biru, artinya saya mengakui kesalahan saya, dan bersedia menjaminkan sejumlah uang senilai denda maksimal dengan cara setor langsung ke BRI terdekat.
Dengan status sebagai terdakwa, saya pun ingin merasakan bagaimana rasanya disidang. Kalau perlu, nggak usah bayar denda, langsung aja Pak masukin saya ke bui. Jadi pengen nyanyi lagi lagunya Asmin Cayder lagi, yang judulnya "Tembok Derita", dan lagi-lagi, dipopulerkan Haji Muhammad Bokir bin Dji'un dalam filmnya bersama Suzanna (saya lupa di film apa). Begini liriknya..
Pak Hakim dan Pak Jaksa
Kapan saya akan disidang
Sudah 3 bulan mendekam
Belum juga ada panggilan
Saya sudah tidak tahan
Tiap malam kedinginan
Tidur di ubin tak bertikar
Nyamuk-nyamuk menjengkelkan
Saya ingin cepat pulang...
"Pak, tolonglah Pak
Kapan saya mau disidang
Saya ingin tahu kepastiannya berapa lama saya menjalani hukuman
Saya ingat istri saya Pak, sebentar lagi mau melahirkan.."
Dalam tembok derita
Aku menebus dosa
Dalam tembok derita
Menjadi narapidana
Dalam tembok derita
Jauh dari orang tua
Dalam tembok derita
Tak akan dapat kulupa
Tobat tujuh turunan
Semoga tak kan terulang
Kalau bebas ingin sadar
Menjadi orang yang benar
Ebuset.. Sebelum diadili seminggu setelah kejadian laknat itu, saya berimajinasi hal-hal buruk soal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saya membayangkan, sambil datang dikawal plokis, para wartawan dan orang media bakal mengerubuti saya, dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya hanya menunduk malu. Apa kata Ibu saya di kampung, anaknya bakal masuk penjara. Ayah saya, Haji Sukimin Noto Susilo bin Soedikromo, akan murka melihat wajah anaknya masuk tipi-tipi, jadi calon narapidana.
"Tenang aja, Bo. Kalau elu masuk penjara, entar tiap hari guwa bawain nasi rantang ke sel elu," kata mandor pabrik, menambah level kecemasan saya.
Tapi, perkiraan saya salah. Hari itu, Jumat pagi sekitar jam 9, saya berangkat ke lokasi PN JakSel, di Jalan Ampera Raya. Itu kali pertama saya melewati jalan tersebut, takut nyasar. Namun saya jadi geli sendiri, karena petunjuknya jelas-jelas ada di sepanjang jalan menuju PN JakSel. Petunjuk tersebut adalah banyaknya calo di tepi jalan yang jelas-jelas mengibarkan lembaran tilang warna merah, sambil teriak "Tilang.. Tilang.." Luar biasa!
Saya lalu menitipkan motor sekalian cuci di tempat cuci motor tak jauh dari PN. Saya titip pesan pada Mas-Mas juru cuci motor, "Mas, kalau saya nggak balik setelah Jumatan, minta tolong cariin saya istri, terus suruh dia jenguk saya di LP, bawain bantal sama tiker.." Hahahaha (bercanda).
Di dalam PN, nyali saya semakin besar. Ketakutan saya tidak terbukti. Tidak ada wartawan, tidak ada pengawalan plokis, tidak ada yang membuat saya khawatir. Saya menuju salah satu ruang sidang yang ramai penuh sesak, bertuliskan "Ruang Sidang Tilang 1". Di sampingnya, ada 2 buah loket di mana orang-orang mengantri seperti berebut sembako gratis. Setelah berhasil ambil nomor antrian, saya menunggu sambil beli minum dan tanya-tanya pada Mbak-Mbak yang berjualan di dalam PN.
"Memangnya kalau pakai calo bayar berapa, Mbak?" tanya saya penasaran. "Tergantung Mas," jawab si Mbak, "kalau satu pasal kena Rp 70ribu, biasanya calo minta Rp 100ribu. Cepet Mas, paling lima menit SIM atau STNK udah di tangan," lanjut si Mbak, lancar menjawab tanpa segan dan ngeri diciduk. "Gila," pikir saya. Kerja 5 menit dapat Rp 30ribu, itu jauh lebih besar dari upah buruh coding! "Masnya mau pake calo?" tanya si Mbak. Saya menggeleng yakin.
"Empat tujuh dua!!" teriak suara dari dalam salah satu loket. Itu nomor antrian saya. "Tujuh puluh ribu!" teriak suara dari dalam loket. Hlo, hlo, saya tidak disidang seperti orang-orang? Seakan sudah paham muka saya kebingungan, seorang petugas di luar merespon, "Masnya telat, jadi nomer 400an ke atas nggak pake sidang lagi, udah langsung bayar aja di sini." Untung saya belum bayar Hotman Paris Hutapea.
Rasa-rasanya pengen berontak, tapi saya ingat nasehat Ibu. "Jangan melawan arus, kalau dimintain duit kasih aja, itung-itung buang sue (sue = sial), insya Allah rejeki kita makin banyak". Ya sudah, padahal saya lebih pilih masuk bui 2-3 hari saja. Total cost-nya sama. Setelah saya bayar (dengan perasaan sangat tidak ikhlas), saya mendapatkan SIM saya kembali. Saya melangkah gontai keluar tempat penuh dosa itu. Tapi, di situlah awal makin kusutnya kehidupan saya. Saat saya lihat lagi lebih jelas, ternyata itu bukan SIM saya, melainkan SIM seseorang bernama Muhammad Yatin!
Cepat saya kembali ke arah suara dari dalam loket. "Pak, ini bukan SIM saya," sambil menyerahkan SIM Muhammad Yatin, saya pasang tampang memelas. Suara dari dalam loket berbicara dengan sumber suara lain, yang di dalam loket juga, "Silakan tunggu ya!" Loket tersebut berkaca gelap. Sesekali hanya ada suara serak meneriakkan nomer antrian, dan tak sampai 10 detik kemudian meneriakkan angka yang harus dibayarkan. "Seratus dua puluh ribu!", "Dua ratus empat puluh ribu!", "Tujuh puluh ribu!" dan seterusnya. Benar-benar black box yang berguna untuk menghisap uang, tanpa kami tahu prosesnya seperti apa.
Di depan loket, saya sempat melihat seorang Bapak yang setelah membayar denda tilang, minta bukti pembayaran. "Nggak ada kuitansi-kuitansian, Pak!" jawab suara dari dalam loket. Si Bapak langsung merespon dengan mengepalkan tangan ke udara, sambil berteriak lantang, "MERDEKA!! Merdeka, Pak!!" Perasaan saya campur aduk antara mau ketawa atau malu menjadi bagian dari bangsa ini. Mau bagaimana lagi?
Cukup lama saya menunggu. Orang-orang mulai berpulangan. Sebentar lagi sholat Jumat. Saya makin was-was. "Pak, empat tujuh dua bagaimana, Pak?" tanya saya pada sumber suara di dalam loket. "Sebentar ya.." Tak lama, "Saudara silakan masuk lewat pintu belakang, kami jelaskan di dalam." Pikiran saya mulai kalut. Kalau saya digebukin di dalam bagaimana? Mulut saya komat-kamit baca doa.
Setelah saya di dalam, saya tak menyangka ternyata ruangan tersebut sangat-sangat sempit dengan jumlah petugas yang lumayan banyak. Dikelilingi uang bertumpuk, dan berkas-berkas tilang warna-warni, lengkap dengan berbagai macam STNK dan SIM, plus bau rokok yang menyengat. "Dik," kata seorang Bapak, "SIM adik sepertinya tertukar dengan SIM pelanggar lalin lain. Sekarang begini saja..."
Saat itu saya mulai berpikir bahwa salah satu beban hidup saya tak akan selesai dalam sehari. "Adik tinggalkan nomer handphone, nanti kalau orang dari Polda ada kabar, kami akan hubungi adik kembali." Karena tak mau berlama-lama di dalam ruangan tersebut, saya mengangguk cepat dan segera menuliskan nomer cantik handphone saya yang juga jadi kontak saya jualan panci. Petugas di PN memberi keterangan di lembar tilang : "BB ketuker" (BB = Barang Bukti). Saya keluar.
Menyadari hari itu bakal jadi panjang, saya mencoba berpikir jernih lagi. "Habis ini ambil motor, pulang ke kos, sholat Jumat, tenangkan diri dulu. Sisanya dipikirin kemudian," otak ini mengatur rencana. Saat sholat Jumat pun hati ini masih tidak tenang. Saya sudah izin setengah hari. Setelah makan, saya kabari mandor pabrik, saya putuskan ambil cuti sekalian saja, dan kalau bisa selesaikan urusan goblok ini sebelum matahari terbenam.
Saya juga kabari Kakak, cerita panjang lebar. Saya minta didoakan Ibu supaya urusan saya lancar. Saya berangkat ke Polda, semoga ada pencerahan di sana. Di bagian Satpamwal, saya disambut Ibu Kusmiyati, dengan pangkat Ajun Inspektur Plokis Satu (yang belakangan saya tahu dari menghapal tanda kepangkatan di bahunya, terus saya search via Google). Di situ ada pula Pak Tukiran (?). Mereka berdua membantu menemukan SIM saya kembali.
Di sebelah saya, ada seorang supir Trans Jakarta. SIM B2 Umum-nya ditahan, karena ia melanggar lampu merah. Dari percakapannya yang terdengar jelas (walau saya tak berniat menguping), saya jadi tahu bahwa supir tersebut ternyata "minta damai". Ebuset... Minta damai langsung di Polda. Hahahaha. "Kalau di kita namanya bukan damai Pak, " plokis menjawab, "tapi titip denda tilang. Besarnya sudah sesuai dengan pasal berapa yang Bapak langgar. Berkas Bapak sudah sampai di Pengadilan saat ini." Saya mikir, "Sama aja sebenernya. Sama-sama dipalak.."
Sambil menunggu giliran, saya menonton film "I, Robot" dari televisi besar yang terpampang di pojok ruangan kerja. "Mas, sini Mas..." Ibu Kusmiyati memanggil. "Ini berkas tilang Saudara, tertukar dengan SIM milik Muhammad Yatin, karena nomor registrasinya bersebelahan. Jadi petugasnya salah menempelkan BB di berkas tilang," ia menjelaskan. Saya merespon, "Terus bagaimana, Bu?"
Kalau mau mengejar balik ke PN Jaksel, waktunya pasti tidak cukup (mungkin karena mereka sebelum jam pulang kerja sudah pulang duluan). Jadi saya disuruh untuk ke Kejaksaan pada jam kerja, karena berkas saya sudah dilimpahkan ke sana. Saya menolak mentah-mentah. Saya sudah kehilangan satu hari produktif saya, dan mereka hanya minta maaf. Untung ini hanya kasus tilang, kalau kasus narkoba, bagaimana kalau ternyata barang buktinya tertukar? Saya bilang, saya mau timbang-timbang dulu.
Saya pulang dengan hati kesal. Semua kewajiban saya sudah saya jalankan. Kena tuduh melanggar rambu, saya terima. Disuruh ke pengadilan, saya jalani, dan tanpa calo. Disuruh membayar, saya kasih (walau tidak ikhlas). Tapi jika rasa keadilan seseorang diusik, tentu orang akan emosional. Hingga saat ini, saya masih memutuskan untuk mencari Brigadir Niko S, petugas yang menilang dan saya pikir harus bertanggung jawab atas semua kesulitan hidup saya hari itu. Saya tidak minta macam-macam, saya hanya minta SIM saya kembali, sebagai wujud keadilan bagi seluruh warga negara Republik Indonesia. Merdeka!
Tak lama setelah saya kena tilang, mandor pabrik juga kena tilang. Bedanya, ia bisa lepas dengan "uang damai" 20ribu perak. "Seumur hidup guwa cuma ketilang 6 kali, Bo.." tukasnya, "sisanya kabur, hahahahaha.." Ia menambahkan, "Seringnya sih guwa geber motor sekenceng-kencengnya (mandor pabrik pakai Ninja --pen), terus matiin lampu dan mesin. Siiing... Terus masuk deh ke gang kecil. Guwa diem aja, terus tuh plokis bakal ngelewatin kebingungan. Ngeeng.. Persis film-filmnya Dono.. "
Juragan pabrik, dan beberapa teman agak heran mengapa saya mau menjalani proses sidang yang bikin repot setengah mati. Mengapa tidak bayar di bank saja, atau bayar "uang damai"? Memang, dari segi materi, saya rugi besar. Uang, waktu, tenaga, pikiran. Gimana ya.. Sebenarnya, ini lebih ke harga diri. Kalo kata Nicki Minaj, defend my honor, protect my pride. Pertama, saya tidak salah. Kedua, saya percaya selalu ada hikmah di balik setiap usaha kita berlaku jujur. Dua alasan itu cukup membuat saya semangat menjalani semuanya.
Kalau masuk penjara beneran terus bijimana? Yaah.. Kalo kata Ustad Yusuf Mansur sih, justru di dalem penjara kita tuh adem, banyak kesempatan sholat Dhuha, baca Quran. Jadi keluar-keluar tahu-tahu udah khatam sekian juz. =))
Bukti Pelanggaran Lalu Lintas (lembar merah) |
Pak Hakim dan Pak Jaksa
Kapan saya akan disidang
Sudah 3 bulan mendekam
Belum juga ada panggilan
Saya sudah tidak tahan
Tiap malam kedinginan
Tidur di ubin tak bertikar
Nyamuk-nyamuk menjengkelkan
Saya ingin cepat pulang...
"Pak, tolonglah Pak
Kapan saya mau disidang
Saya ingin tahu kepastiannya berapa lama saya menjalani hukuman
Saya ingat istri saya Pak, sebentar lagi mau melahirkan.."
Dalam tembok derita
Aku menebus dosa
Dalam tembok derita
Menjadi narapidana
Dalam tembok derita
Jauh dari orang tua
Dalam tembok derita
Tak akan dapat kulupa
Tobat tujuh turunan
Semoga tak kan terulang
Kalau bebas ingin sadar
Menjadi orang yang benar
Ebuset.. Sebelum diadili seminggu setelah kejadian laknat itu, saya berimajinasi hal-hal buruk soal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saya membayangkan, sambil datang dikawal plokis, para wartawan dan orang media bakal mengerubuti saya, dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya hanya menunduk malu. Apa kata Ibu saya di kampung, anaknya bakal masuk penjara. Ayah saya, Haji Sukimin Noto Susilo bin Soedikromo, akan murka melihat wajah anaknya masuk tipi-tipi, jadi calon narapidana.
"Tenang aja, Bo. Kalau elu masuk penjara, entar tiap hari guwa bawain nasi rantang ke sel elu," kata mandor pabrik, menambah level kecemasan saya.
Tapi, perkiraan saya salah. Hari itu, Jumat pagi sekitar jam 9, saya berangkat ke lokasi PN JakSel, di Jalan Ampera Raya. Itu kali pertama saya melewati jalan tersebut, takut nyasar. Namun saya jadi geli sendiri, karena petunjuknya jelas-jelas ada di sepanjang jalan menuju PN JakSel. Petunjuk tersebut adalah banyaknya calo di tepi jalan yang jelas-jelas mengibarkan lembaran tilang warna merah, sambil teriak "Tilang.. Tilang.." Luar biasa!
Saya lalu menitipkan motor sekalian cuci di tempat cuci motor tak jauh dari PN. Saya titip pesan pada Mas-Mas juru cuci motor, "Mas, kalau saya nggak balik setelah Jumatan, minta tolong cariin saya istri, terus suruh dia jenguk saya di LP, bawain bantal sama tiker.." Hahahaha (bercanda).
Di dalam PN, nyali saya semakin besar. Ketakutan saya tidak terbukti. Tidak ada wartawan, tidak ada pengawalan plokis, tidak ada yang membuat saya khawatir. Saya menuju salah satu ruang sidang yang ramai penuh sesak, bertuliskan "Ruang Sidang Tilang 1". Di sampingnya, ada 2 buah loket di mana orang-orang mengantri seperti berebut sembako gratis. Setelah berhasil ambil nomor antrian, saya menunggu sambil beli minum dan tanya-tanya pada Mbak-Mbak yang berjualan di dalam PN.
"Memangnya kalau pakai calo bayar berapa, Mbak?" tanya saya penasaran. "Tergantung Mas," jawab si Mbak, "kalau satu pasal kena Rp 70ribu, biasanya calo minta Rp 100ribu. Cepet Mas, paling lima menit SIM atau STNK udah di tangan," lanjut si Mbak, lancar menjawab tanpa segan dan ngeri diciduk. "Gila," pikir saya. Kerja 5 menit dapat Rp 30ribu, itu jauh lebih besar dari upah buruh coding! "Masnya mau pake calo?" tanya si Mbak. Saya menggeleng yakin.
"Empat tujuh dua!!" teriak suara dari dalam salah satu loket. Itu nomor antrian saya. "Tujuh puluh ribu!" teriak suara dari dalam loket. Hlo, hlo, saya tidak disidang seperti orang-orang? Seakan sudah paham muka saya kebingungan, seorang petugas di luar merespon, "Masnya telat, jadi nomer 400an ke atas nggak pake sidang lagi, udah langsung bayar aja di sini." Untung saya belum bayar Hotman Paris Hutapea.
Rasa-rasanya pengen berontak, tapi saya ingat nasehat Ibu. "Jangan melawan arus, kalau dimintain duit kasih aja, itung-itung buang sue (sue = sial), insya Allah rejeki kita makin banyak". Ya sudah, padahal saya lebih pilih masuk bui 2-3 hari saja. Total cost-nya sama. Setelah saya bayar (dengan perasaan sangat tidak ikhlas), saya mendapatkan SIM saya kembali. Saya melangkah gontai keluar tempat penuh dosa itu. Tapi, di situlah awal makin kusutnya kehidupan saya. Saat saya lihat lagi lebih jelas, ternyata itu bukan SIM saya, melainkan SIM seseorang bernama Muhammad Yatin!
Cepat saya kembali ke arah suara dari dalam loket. "Pak, ini bukan SIM saya," sambil menyerahkan SIM Muhammad Yatin, saya pasang tampang memelas. Suara dari dalam loket berbicara dengan sumber suara lain, yang di dalam loket juga, "Silakan tunggu ya!" Loket tersebut berkaca gelap. Sesekali hanya ada suara serak meneriakkan nomer antrian, dan tak sampai 10 detik kemudian meneriakkan angka yang harus dibayarkan. "Seratus dua puluh ribu!", "Dua ratus empat puluh ribu!", "Tujuh puluh ribu!" dan seterusnya. Benar-benar black box yang berguna untuk menghisap uang, tanpa kami tahu prosesnya seperti apa.
Di depan loket, saya sempat melihat seorang Bapak yang setelah membayar denda tilang, minta bukti pembayaran. "Nggak ada kuitansi-kuitansian, Pak!" jawab suara dari dalam loket. Si Bapak langsung merespon dengan mengepalkan tangan ke udara, sambil berteriak lantang, "MERDEKA!! Merdeka, Pak!!" Perasaan saya campur aduk antara mau ketawa atau malu menjadi bagian dari bangsa ini. Mau bagaimana lagi?
Cukup lama saya menunggu. Orang-orang mulai berpulangan. Sebentar lagi sholat Jumat. Saya makin was-was. "Pak, empat tujuh dua bagaimana, Pak?" tanya saya pada sumber suara di dalam loket. "Sebentar ya.." Tak lama, "Saudara silakan masuk lewat pintu belakang, kami jelaskan di dalam." Pikiran saya mulai kalut. Kalau saya digebukin di dalam bagaimana? Mulut saya komat-kamit baca doa.
Setelah saya di dalam, saya tak menyangka ternyata ruangan tersebut sangat-sangat sempit dengan jumlah petugas yang lumayan banyak. Dikelilingi uang bertumpuk, dan berkas-berkas tilang warna-warni, lengkap dengan berbagai macam STNK dan SIM, plus bau rokok yang menyengat. "Dik," kata seorang Bapak, "SIM adik sepertinya tertukar dengan SIM pelanggar lalin lain. Sekarang begini saja..."
Saat itu saya mulai berpikir bahwa salah satu beban hidup saya tak akan selesai dalam sehari. "Adik tinggalkan nomer handphone, nanti kalau orang dari Polda ada kabar, kami akan hubungi adik kembali." Karena tak mau berlama-lama di dalam ruangan tersebut, saya mengangguk cepat dan segera menuliskan nomer cantik handphone saya yang juga jadi kontak saya jualan panci. Petugas di PN memberi keterangan di lembar tilang : "BB ketuker" (BB = Barang Bukti). Saya keluar.
Menyadari hari itu bakal jadi panjang, saya mencoba berpikir jernih lagi. "Habis ini ambil motor, pulang ke kos, sholat Jumat, tenangkan diri dulu. Sisanya dipikirin kemudian," otak ini mengatur rencana. Saat sholat Jumat pun hati ini masih tidak tenang. Saya sudah izin setengah hari. Setelah makan, saya kabari mandor pabrik, saya putuskan ambil cuti sekalian saja, dan kalau bisa selesaikan urusan goblok ini sebelum matahari terbenam.
Saya juga kabari Kakak, cerita panjang lebar. Saya minta didoakan Ibu supaya urusan saya lancar. Saya berangkat ke Polda, semoga ada pencerahan di sana. Di bagian Satpamwal, saya disambut Ibu Kusmiyati, dengan pangkat Ajun Inspektur Plokis Satu (yang belakangan saya tahu dari menghapal tanda kepangkatan di bahunya, terus saya search via Google). Di situ ada pula Pak Tukiran (?). Mereka berdua membantu menemukan SIM saya kembali.
Di sebelah saya, ada seorang supir Trans Jakarta. SIM B2 Umum-nya ditahan, karena ia melanggar lampu merah. Dari percakapannya yang terdengar jelas (walau saya tak berniat menguping), saya jadi tahu bahwa supir tersebut ternyata "minta damai". Ebuset... Minta damai langsung di Polda. Hahahaha. "Kalau di kita namanya bukan damai Pak, " plokis menjawab, "tapi titip denda tilang. Besarnya sudah sesuai dengan pasal berapa yang Bapak langgar. Berkas Bapak sudah sampai di Pengadilan saat ini." Saya mikir, "Sama aja sebenernya. Sama-sama dipalak.."
Sambil menunggu giliran, saya menonton film "I, Robot" dari televisi besar yang terpampang di pojok ruangan kerja. "Mas, sini Mas..." Ibu Kusmiyati memanggil. "Ini berkas tilang Saudara, tertukar dengan SIM milik Muhammad Yatin, karena nomor registrasinya bersebelahan. Jadi petugasnya salah menempelkan BB di berkas tilang," ia menjelaskan. Saya merespon, "Terus bagaimana, Bu?"
Kalau mau mengejar balik ke PN Jaksel, waktunya pasti tidak cukup (mungkin karena mereka sebelum jam pulang kerja sudah pulang duluan). Jadi saya disuruh untuk ke Kejaksaan pada jam kerja, karena berkas saya sudah dilimpahkan ke sana. Saya menolak mentah-mentah. Saya sudah kehilangan satu hari produktif saya, dan mereka hanya minta maaf. Untung ini hanya kasus tilang, kalau kasus narkoba, bagaimana kalau ternyata barang buktinya tertukar? Saya bilang, saya mau timbang-timbang dulu.
Saya pulang dengan hati kesal. Semua kewajiban saya sudah saya jalankan. Kena tuduh melanggar rambu, saya terima. Disuruh ke pengadilan, saya jalani, dan tanpa calo. Disuruh membayar, saya kasih (walau tidak ikhlas). Tapi jika rasa keadilan seseorang diusik, tentu orang akan emosional. Hingga saat ini, saya masih memutuskan untuk mencari Brigadir Niko S, petugas yang menilang dan saya pikir harus bertanggung jawab atas semua kesulitan hidup saya hari itu. Saya tidak minta macam-macam, saya hanya minta SIM saya kembali, sebagai wujud keadilan bagi seluruh warga negara Republik Indonesia. Merdeka!
***
Tak lama setelah saya kena tilang, mandor pabrik juga kena tilang. Bedanya, ia bisa lepas dengan "uang damai" 20ribu perak. "Seumur hidup guwa cuma ketilang 6 kali, Bo.." tukasnya, "sisanya kabur, hahahahaha.." Ia menambahkan, "Seringnya sih guwa geber motor sekenceng-kencengnya (mandor pabrik pakai Ninja --pen), terus matiin lampu dan mesin. Siiing... Terus masuk deh ke gang kecil. Guwa diem aja, terus tuh plokis bakal ngelewatin kebingungan. Ngeeng.. Persis film-filmnya Dono.. "
Juragan pabrik, dan beberapa teman agak heran mengapa saya mau menjalani proses sidang yang bikin repot setengah mati. Mengapa tidak bayar di bank saja, atau bayar "uang damai"? Memang, dari segi materi, saya rugi besar. Uang, waktu, tenaga, pikiran. Gimana ya.. Sebenarnya, ini lebih ke harga diri. Kalo kata Nicki Minaj, defend my honor, protect my pride. Pertama, saya tidak salah. Kedua, saya percaya selalu ada hikmah di balik setiap usaha kita berlaku jujur. Dua alasan itu cukup membuat saya semangat menjalani semuanya.
Kalau masuk penjara beneran terus bijimana? Yaah.. Kalo kata Ustad Yusuf Mansur sih, justru di dalem penjara kita tuh adem, banyak kesempatan sholat Dhuha, baca Quran. Jadi keluar-keluar tahu-tahu udah khatam sekian juz. =))
makanya lain kali kalo kena tilang langsung bilang "ojek" sambil selipin 10ribuan di stnk. ga bakal ditanya-tanya lagi, 10 detik selesai.
BalasHapustoh sama-sama dipalak, tapi lebih hemat waktu dan duit =))
Just wanna protect my pride.. Aku benci polisi sebenernya ada ceritanya juga. :)) (baca juga soal slippery slope di blog.prabowomurti.com/2013/04/etika.html)
HapusSenin kemarin orang PN Jaksel telepon, SIMku sudah ketemu, dan aku disuruh balik lagi ke PN buat ambil. Kita saksikan saja aksi selanjutnya dari Prabowo Murti. Berhasil menumpas kejahatan, atau justru masuk bui? :))
Hidup Calon Bupati Kubu Raya!!!
BalasHapus