Telepon Dari Ibu

Bismillah

Sambil bergetar, handphone hasil pemberian juragan pabrik, memunculkan nama pemanggil. "Enyak".

Sebagai manusia dengan tipikal tukang rantau, telepon dari Ibu jadi satu-satunya pemberi kabar terbaru soal keadaan rumah di Pontianak. Selama kurang lebih empat setengah tahun kuliah di Yogyakarta, saya jarang sekali pulang kampung. Begitu juga setelah dua tahun menetap di Jakarta. "Sekarang kan sudah di Tangerang, sudah dekat dengan bandara. Mas aja bisa ambil pesawat sore hari Jumat buat pulang ke Makassar, nanti Senin pagi ke Jakarta langsung kerja," kata beliau. Ibu mungkin lupa, Abang kan sudah punya keluarga. Ada anak dan istri. Ada yang dilihat. Ada alasan kuat untuk pulang hampir setiap minggu.

Namun dari percakapan kami kemarin, ada hal lain yang saya tangkap dari obrolan dengan Ibu. Topiknya biasanya macam-macam, mulai dari Ayah yang punya kesibukan baru piara ikan, atau benerin talang air. Atau soal keponakan yang sudah mulai besar dan punya kepandaian baru. Atau soal tetangga dekat kami yang sedang sakit parah. Atau soal bisnis beliau yang kembang kempis tapi tetap dijalani dengan riang hati. Tapi, kemarin beda.

Ibu bercerita soal kepergiannya ke tanah suci tahun 2010 bersama Ayah. Beliau menggambarkan bagaimana ia, mencurahkan sebagian besar waktunya di sana (terutama di Padang Arofah), untuk secara khusus mendoakan saya. Ya, saya. Anak terakhirnya yang sebenarnya bebal, durhaka, dan tak gemar menurut. Anaknya yang menuntut macam-macam dari orang tua, tapi tak sedikit pun berkontribusi demi kebahagiaan orang lain. Anaknya yang suka melawan, tapi giliran mau mati karena operasi nenen (detailnya sudah pernah saya tulis di blog, yang tentu memiliki Content Warning sebelum dibuka), yang bisa saya lakukan hanyalah minta duit karena saya tak punya dana untuk bayar rumah sakit.

Mengapa beliau tak memberikan porsi lebih pada anaknya yang lain? Mas misalnya, yang sudah lama ingin pindah ke Jakarta bersama keluarga. Atau Mbak saja, yang kala itu sedang repot-repotnya kerja sambil mengurusi anaknya yang sering sakit. Atau untuk Ayah, supaya ginjalnya tetap baik-baik saja. Atau untuk dirinya sendiri saja, yang sebenarnya kala itu juga sedang sakit parah. Mengapa harus mendoakan saya? Setelah saya pikir-pikir, alasannya sebenarnya sederhana : dibanding anggota keluarga yang lain, saat itu hidup saya yang paling (kalau boleh meminjam kosakata Betawi) ngeblangsakNggak jelas. Bahkan hingga sekarang.

Saya jadi paham mengapa Ibu ingin saya agak sering pulang. Beliau memiliki pengharapan yang besar terhadap saya. Namun saya sombong. Saya berlaku seolah-olah tak perlu didoakan. Hampir tak ada yang bisa saya beri untuk memenuhi separuh saja dari rasa kebahagiaan beliau. Boleh jadi yang diinginkan Ibu hanya sekadar ngobrol-ngobrol di teras rumah, sambil saya mengolesi rambutnya dengan minyak kemiri, lalu menyisirnya. Tidak lebih dari itu.

Cuti dari pabrik sudah saya habiskan saat pulang lebaran kemarin. Waktu saya di rumah mungkin kurang, karena saya malah sibuk pergi ke rumah teman, menyelesaikan pekerjaan pabrik dari warnet Ujik, mengurusi administrasi haji, bikin e-KTP, ngadain baksos bersama alumni SMA, dll dll yang bukan esensi dari pulang kampung.

Jumat ini saya pulang, Senin pagi baru balik Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

speak now or forever hold your peace

About Me