Tentang Memberi Kesempatan

Malam tadi, saya, Budi, Ayu, dan Aswin, teman semasa SMA, kumpul sambil makan durian di Jalan Teuku Umar, persis di depan kantor PT Telkom Pontianak. Ada pemandangan yang tak biasa di situ. Kami melihat seorang anak kecil, saya taksir sekitar 10 atau 11 tahun, menyelipkan (mengutip istilah Taufik Ismail dalam sebuah puisinya) "Tuhan 9 cm" di antara telunjuk dan jari tengahnya, merokok layaknya orang dewasa. Agak miris memang, tapi itulah yang terjadi. Saya memanggilnya pelan, saat kami sudah selesai dan hendak pulang.

"Dik, sini.." Ia mendekat tanpa rasa takut.
"Adik namanya siapa?"
"Leo, Bang.."
"Oh Leo ya.. Leo kelas berapa, Leo?" saya mengulangi menyebutkan namanya hingga tiga kali dalam satu buah kalimat tanya. Kata orang bank, itu perlu untuk mencairkan suasana dan mendekatkan kita dalam lingkaran yang "nyaman".
"Kelas 5, Bang.." jawabnya singkat.
"Leo masih sekolah?"
"Masih, Bang.."
"Ini.. Abang kasih 50ribu, tapi Leo berhenti merokok, terus belajar bener-bener ya.. " saya mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan satu-satunya di kantong, soalnya dompet ketinggalan di rumah Ayu.

Leo mengangguk cepat. Ia banting Tuhan 9 cm jauh-jauh. Sorot matanya berubah, agak berkaca-kaca. Saya memperhatikan itu, karena saya pedagang. Pupil membesar artinya seseorang benar-benar menginginkan sesuatu. Nih saya kasih tahu tips jualan dikit: kalau harga barang Anda ditawar orang, tapi matanya menyiratkan dia seneng banget sama itu barang, jangan dikasih murah!

"Makasih ya, Bang.." Leo mencium tangan saya, lalu berlalu. Kami semua masuk ke mobil. Aswin sewot, "Kau kasih dia duit, nanti dibelikannya rokok lagi, Wo!"

Begini...

Andaikan Anda punya perusahaan kecil yang membuat pigura. Ada order besar yang harus dikirim besok jam 7 pagi. Jam 4 sore ini, pekerja Anda, melakukan kesalahan sehingga piguranya rusak. Perlu waktu hingga 8 jam untuk membuat pigura tersebut. Apakah Anda.. Pilihan A : marah-marah tak karuan, kalau perlu mencaci-maki pekerja tersebut, mempermalukannya di depan pekerja yang lain, dan tak lupa memotong gajinya secara brutal. Atau.. Pilihan B : fokus pada bisnis, menyuruh pekerja memperbaiki kesalahannya dengan bekerja lembur, dan berusaha tetap memperoleh profit dengan mengantarkan pesanan besok jam 7 pagi.

Bedanya pilihan A dan pilihan B sebetulnya simpel : di pilihan B, Anda memberi pekerja Anda kesempatan. Kesempatan untuk ia memperbaiki diri. Kesempatan untuk menyadari kesalahan. Kesempatan untuk berubah. Kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka adalah insan yang sebenarnya dapat dipercaya.

Di kasus Leo, alurnya tak jauh beda. Saya memilih pilihan B. Saya memilih untuk memberi Leo kesempatan. Saya membayangkan, bagaimana kalau semua orang tak peduli pada Leo. Semua orang tak acuhkannya. Semua orang tak memberi ia kesempatan. Di masa depan, ia jadi orang yang sama dengan orang-orang di sekitarnya : tak berpendidikan, punya uang tapi selalu habis untuk rokok. Suram. Dan kesempatan yang saya beri pada Leo, saya pikir-pikir lagi, senilai dengan uang 50 ribu rupiah.

Ingat, saya hidup dari bisnis/jualan, saya sudah menghitung duluan, berapa harga yang pantas untuk mengubah kebiasaan seorang anak usia 10 tahun, berdasarkan inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dollar, dan biaya kebutuhan hidup anak SD kelas 5. Kalau 10 ribu terlalu murah, karena harga sebungkus rokok juga segitu. Kalau 100ribu terlalu mahal, saya nggak ada duit. Uang 50 ribu adalah nilai yang saya yakini, bisa membuat ia bercerita pada orang tuanya "Mak, tadi ada Abang-abang kasih aku duit 50ribu, suruh aku berhenti merokok, suruh aku sekolah betul-betul.."

Lihat benar-benar, semuanya adalah tentang memberi kesempatan. Saya percaya, selalu saja ada orang-orang yang memberi kita kesempatan.

Di kali lain, saat motor saya kehabisan bahan bakar di tengah jalan, ada orang tak dikenal yang menawarkan bantuannya, membantu mendorong motor hingga ada pedagang bensin eceran terdekat. Ia sama sekali tak kenal saya, tapi ia mengambil resiko kalau-kalau ternyata saya ini orang jahat, pura-pura kehabisan bensin, terus ujung-ujungnya nodong. Tapi orang tersebut memberi saya kesempatan. 

Saat pabrik kami mendapatkan client sebuah perusahaan rokok raksasa di Indonesia, dalam hati saya ingin berontak. Sudah bertahun-tahun saya memerangi rokok, dan kini saya malah mau makan dari uang perusahaan rokok. Namun saya tak langsung frontal pada juragan dan mandor pabrik. Saya katakan, saya tak akan bekerja semaksimal saat client kami bukan perusahaan rokok, dan jangan beri saya bonus, upah, apapun bentuknya, dari perusahaan rokok tersebut. Saya memberi kesempatan. Eh, doa saya terkabul. Kami tak jadi deal juga akhirnya.

Saat saya kehabisan ongkos pulang ke kos di daerah Tanjung Duren, Jakarta Barat, saya jualan pulsa dulu di sepanjang jalan Sudirman hingga Thamrin, supaya dapat duit. Waktu itu malam Minggu. Semua orang yang saya lewati, saya tawarin. Mulai dari tukang ojek, supir taksi, tante-tante yang sedang menunggu om-om, orang-orang di halte bis, pedagang nasi goreng, juru parkir, hingga satpam perkantoran. Well, ada yang memberi kesempatan, dengan bertanya balik "Emang kalo Simpati 10 ribu harganya berapa?", ada yang tidak memberi kesempatan, dari jauh sudah menghindar karena melihat dandanan saya seperti gembel.

Saat saya ditelpon seorang salesman kartu kredit, agen asuransi, KTA, dll, yang saya tak butuh, saya pun tak langsung menolak dengan kasar. Saya pasti katakan, saya hanya punya waktu 2 menit. Silakan Anda menyampaikan "informasi penting" tersebut (mereka selalu gunakan istilah "informasi penting", "berita berguna", "penawaran menarik", dan sejenisnya). Kalau saya tertarik, saya akan putuskan untuk beli. Saya ganti memberikan kesempatan, bahkan untuk orang-orang yang paling bikin saya mual di telepon. Karena saya ingin keadilan, saya ingin kalau saya menawarkan jasa ke orang lain, orang kasih saya kesempatan dulu buat ngomong, semenit saja.

Urusan romansa? Harusnya tak jauh beda. Saat tak suka dengan seseorang, jangan langsung tutup pagar, mengunci rapat-rapat hati. Sekarang mungkin Anda tak suka dengan wanita tertentu karena penampilannya tak menarik, badannya kurang bahenol bin semlohay, wajahnya kurang oriental, atau karena senang bergosip. Namun boleh jadi, hey.. People change. Ia, lima tahun lagi, menjadi wanita matang yang mirip model ternama, kepribadiannya jadi lebih baik. Di saat Anda sudah menolaknya, tak membuka peluang untuk membina hubungan dekat, Anda mungkin bakal menyesal. Menyesal karena Anda tak memberinya kesempatan.

Pontianak, 28 jam sebelum kembali ke Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

speak now or forever hold your peace

About Me