Pengalaman "Remote Working" atawa "Bekerja dari Rumah"

Bismillah

Sudah dua bulan setengah saya berstatus pekerja rumahan. Remote worker. Buruh jarak jauh. Dukun digital.

Oke, beberapa hal.

0. Paradigma.
Banyak orang mengira bahwa "bekerja dari rumah" itu enak. Bisa santai dan tidur-tiduran. Dan punya waktu luang lebih banyak. Paradigma yang tidak sepenuhnya salah sih, karena ini gaya hidup yang tidak (atau belum) populer. Keluarga perlu diberi penjelasan, bahwa bekerja dari rumah artinya ya harus bekerja, bukan diajak jalan-jalan atau dijadikan supir kapan saja. Anggap saja ujian kesabaran, sebagai konsekuensi logis dari pilihan hidup yang tidak populis.

1. Questions. And more questions.
"Lagi libur, Mas?"
"Jam segini udah di rumah, pulang awal ya?"
"Masuk shift malem, Mas?"

Kalau lagi males ngobrol, biasanya saya jawab "Saya lagi nganggur, Pak" :)

2. Waktu Bekerja vs Waktu Istirahat
Karena tidak ada "batas" antara jam kerja dan jam istirahat (karena kerja dan istirahat sama-sama di rumah terus), harus ada yang mengingatkan soal batas antara waktu bekerja dan waktu untuk tidak bekerja. Sebaiknya, sediakan kamar khusus di rumah, sehingga "masuk kamar" adalah jam berangkat, dan "keluar kamar" adalah jam pulang kantor. Saya sendiri masih perlu belajar disiplin soal ini.

3. Gears.
Sediakan perlengkapan kerja yang mumpuni, layaknya kantor. Kursi, meja, headset, koneksi internet yang stabil, monitor yang besar, keyboard yang nyaman, minuman dan cemilan.

4. Distractions.
Terus terang hingga saat ini saya belum menemukan tempat yang pas untuk bekerja secara remote. Tidak di rumah (karena terlalu berisik), dan tidak pula di cafe (apalagi). Kalau di coworking-space (belum terlalu populer), atau di perpustakaan daerah, tidak ada monitor yang besar. Saya pernah mengunjungi perpusda Kabupaten, kondisinya memprihatinkan. Meja dan kursi yang tidak representatif (bahkan untuk membaca buku), dan PNS yang mengobrol. Mungkin karena kebetulan tempatnya jadi satu dengan kantor arsip ya.

Menurut saya bekerja sebagai programmer semacam mengalikan bilangan 4 digit dalam kepala. Bila ada interupsi, prosesnya tidak bisa dimulai dari tempat berhentinya. Semua harus dimulai dari awal. You shouldn't interrupt a programmer, because we hate it. Headset bukan penolong, karena apa yang Anda dengar dari headset pun sebetulnya termasuk distraksi. Teman saya, Sigit, bahkan harus menyewa sebuah rumah lagi, khusus untuk tempat bekerja. :)

Untuk Anda yang sedang mempertimbangkan untuk bekerja secara remote, saya sarankan untuk membaca buku "Remote: Office Not Required" tulisan Jason Fried dan David Heinemeier Hansson. Memang banyak sekali hal yang tidak dicakup dalam buku tersebut, tapi setidaknya kita harus memulai membuka pikiran untuk melihat pengalaman orang-orang yang lebih dulu sampai di sana.

Semoga bermanfaat. :)

Catatan : Anda bisa bergabung di komunitas "Kami Kerja Remote" di Facebook, untuk mengenal orang-orang Indonesia yang berstatus pekerja remote. Siapa tahu bisa terinspirasi dan jadi tempat bertukar pikiran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

speak now or forever hold your peace

About Me