Mainan Edukatif

Bismillah

"Mas, aku minta maaf ya.. " kata bini membuka obrolan. Ternyata, "Aku beli mainan buat anak, habis 90 rebu". Wah, kacau nih, pikir saya. Bini ternyata lebih duluan menerapkan teori yang diberikan mandor pabrik buat ane : minta maaf lebih mudah daripada minta izin. Jadi, lakukan saja dulu, nanti baru minta maaf. Daripada minta izin pasti lebih susah. Okelah, dimaafkan. Nyatanya, mainan "edukatif" itu hanya bertahan 20 menit. Selepas itu anak jadi bosan.

Beberapa hari kemudian saya beli mainan mamang-mamang berbentuk balon kecil yang isinya air. Ujungnya sebetulnya ada pita. Idenya, ketika "balon" itu memantul di lantai, ada "ekor"-nya yang menambah efek dramatis lintasan balon. Kira-kira semacam itulah.

Ukurannya kecil, sebesar koin Rp 500


Sampai tidur pun dibawa-bawa
Lihatlah bagaimana anak bereaksi. Balon memantul-mantul hilang, menangis. Dicari, ketemu, lanjut main. Tidur, digenggam erat, sampai nanti bangun lagi. Datang temannya melirik, tak sudi dipinjamkan. Jatuh jauh di bawah ranjang, coba digapai sekuatnya. Sampai akhirnya, kulit karet itu pun terkoyak karena digigit-gigit, isinya pecah berhamburan.

Lihatlah. Dari anak umur 1 tahun kita belajar bahwa kebahagiaan tak harus mahal. Uang 90 ribu habis 20 menit, sedangkan modal seribu rupiah, berjaya seharian.

Perhatikan. Orang tua kita tak belajar ilmu parenting, semua anak-anaknya baik-baik saja. Tough, tangguh, dan berdaya juang hidup tinggi. Anak-anak sekarang dijejali gawai, otaknya buntu, malas dan ingin serba instan.

Bisa jadi mamang mamang-mamang itulah yang sepatutnya diberi gelar master mainan anak, karena dengan “karya” mereka anak kita menjadi anak yang sepatutnya anak kecil, ya bermain. Penuh imajinasi. Ceria. Tanpa beban hidup. Optimis menatap hari esok.

Besoknya saya belikan lagi. Lima biji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

speak now or forever hold your peace

About Me