Ubin Dingin

Bismillah.

Berbaring di lantai, di kamar depan. Biasanya ada karpet tipis sekadarnya. Lebih pantas disebut tikar. Dinginnya ubin terasa di tulang punggung. Tiba-tiba memori belasan tahun lalu menyapa kembali.

Terminal bis. Kemalaman. Dan kehabisan uang. Sangat tipikal. Pilihan pertama, jalan kaki 9 kilometer. Pilihan kedua, tidur di masjid dan menunggu angkot murah pagi hari. Pilihan pertama selain melelahkan, tidak enak sama yang empunya rumah keluarga tujuan. Takut merepotkan.

Sebuah surau. Alhamdulillah. Lebih baik daripada harus tetap di terminal. Ah, terkunci. Tapi tempat wudhu dan WC bisa dipakai. Syukurlah. Teras surau. Lantai ubin tanpa alas. Dinginnya menusuk harga diri. Tas kumal jadi bantal. Tanpa selimut, tapi tetap romantis dengan sinar lampu yang tak seberapa terang.

Air wudhu separuh beku menyegarkan wajah, membersihkan sekelumit raga. Ku mulai berbaring dan merapal doa. Mata menutup, tapi alur otak tetap terbuka. Rasa kantuk dan capek harus lebih hebat daripada suhu rendah udara.

Tertidur, terbangun. Melihat jam dinding. Mencoba tertidur lagi, terbangun. Jarum jam seperti tak bergerak. Rasanya pagi lama sekali hadir. Kapankah mentari datang dan menghangatkan punggung ini?

Ubin dingin. Dinginnya menusuk harga diri.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

speak now or forever hold your peace

About Me