Bismillah.
Ane berulang kali mikir untuk publish tulisan ini. Takut menyinggung, karena nggak sesuai dengan pemikiran kebanyakan orang. Apalagi pemikirin bini.
Kalau lihat sekarang, "hype"-nya adalah #ramadhan. Semua berkaitan dengan yang meningkatkan iman dan takwa. Konsentrasi beribadah. Fokus mengejar pahala. Di satu sisi ane setuju, tapi ada sisi yang luput jadi perhatian orang-orang, yaitu soal perut.
Kita ini hidup dalam keadaan luar biasa. Ada wabah. Orang takut mau ke luar rumah. Penyakit ini belum ketemu obatnya. Kalaupun diketemukan, perlu waktu lama untuk distribusi dan lain-lain.
Akibat dari wabah ini, tak dapat dielak, adalah keadaan ekonomi yang semakin carut marut. Orang kehilangan pekerjaan. Jika masih bekerja, gajinya terpotong sebagian. Bisnis sebesar apapun terancam gulung tikar. Urusan perut menjadi hal yang lebih esensial daripada mengisi kuota internet demi mengunduh Zoom atau menyimak kajian online dengan tema berulang seperti "Keutamaan Bulan Ramadhan" yang senantiasa kita dengar tiap tahun dengan redaksional berbeda.
"Hlo, kok kamu jadi hedon begini, Mas?" -- bini
Sebetulnya bukan hedon, tapi lebih ke 'pragmatis'. Praktis aja: orang butuh makan sehari minimal 2 kali sehari. Sahur dan berbuka. Kalau dia ada anak atau bayi, berarti butuh susu. Yang mungkin susunya itu adalah barang paling mahal per kilogramnya dibanding logistik lainnya di rumah. Nonton kajian bisa ditunda, tapi anak yang menangis kelaparan apakah bisa ditunda?
Bunyi meteran listrik apakah bisa ditunda jika sudah mencapai sisa 5 KWH? Mungkin bisa, 16 jam, dan setelah itu berbunyi lagi. Bayar kontrakan apakah bisa ditunda? Tabung elpiji yang kosong apakah bisa terisi sendiri? Bisa dilihat, ini semua soal perut. Laparnya sekarang. Matinya 3 hari lagi.
Terus, gimana dong?
Ayo kita duduk sama-sama untuk membicarakan ini lebih dalam. Coba bayangkan mengapa suara saat pemilu bisa dibeli dengan uang Rp 50ribu saja? Mengapa orang-orang miskin sudah tahu bunga lintah darat mencekik leher, tapi diambil juga? Lihat: kemiskinan itu adalah akumulasi dari keputusan finansial yang keliru. Kok, bisa keliru?
Soanya perutnya lapar! Orang lapar susah mikir. Orang lapar cenderung menginginkan instant gratification. Orang lapar tidak bisa berpikir jernih. Yang penting makan. Titik. Mau presidennya siapa kek, mau climate change kek, apa pun lah. Yang penting dapur masih bisa ngebul.
Mungkin bahkan nanti kalau ada penjarahan, atau kesempatan untuk mendapatkan makanan dengan cara yang tidak baik, orang lapar bisa lakukan itu juga. Gelap mata. Pendek akal.
Ayo kita dukung orang-orang di sekitar kita. Di saat begini mungkin mereka nggak butuh banyak-banyak. Ala kadarnya sahaja. Yang penting bisa bertahan hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
speak now or forever hold your peace