Bismillah.
Kami memutuskan pulang kampung. Beberapa alasan:
- ingin menemani orang tua, karena sudah setahun lebih tidak pulang
- melihat ketidakpastian kebijakan dan pandemi yang tak kunjung mereda,
- pabrik "merumahkan" seluruh karyawan, memaksa semua orang bekerja dari rumah, termasuk memangkas pengeluaran dengan tak lagi menyewa ruang kantor.
Urusan naruh centong nasi aja bisa bikin konflik, Bo.
Perdebatan dingin terjadi di dalam rumah. Dapur punya ranah "fiqih" sendiri. Santan instan versus remasan kelapa parut asli. Bumbu nasi goreng sachet melawan tumbukan bawang. Micin vs no-micin. Cobek vs blender. Dan ratusan idealisme dapur mesti beradu di ruang 9 meter persegi.
Itu baru soal dapur. Kalau kita memandang rumah sebagai objek manajerialis, maka selayaknya memang di dalam sebuah rumah hanya ada satu kepala keluarga.
Dalam sebuah kapal tak boleh ada 2 nakhoda.
Agenda pulang kampung pun harus kami batasi. Sebatas kumpul bin silaturahim dengan keluarga. Tidak ada keinginan untuk bisnis sambilan, tidak pula kumpul-kumpul dengan teman lama atau tetangga. Tidak jalan-jalan. Tidak macam-macam.
Makin banyak agenda, makin nggak ada yang terselesaikan. Eh, tapi nanem sayur masih lanjut. Haha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
speak now or forever hold your peace