Operasi Payudara


Bismillah.

Bukaaaaannn! Tulisan ini bukan tentang Melinda Dee! Oke, judulnya mungkin agak sedikit ekstrim. Tapi memang itulah kenyataannya, saya hanya ingin berbagi pengalaman pribadi, karena saya pikir banyak sekali hikmah hidup yang saya dapat setelah operasi.

Kata orang,
Orang yang pernah sangat-sangat dekat dengan maut, biasanya bisa lebih menghargai hidup setelahnya.
Sebelum Anda semua berpikiran mesum dan cabul karena judul yang kurang senonoh, saya perlu beritahukan bahwa saya tetap lelaki tulen, bukan Bunda Dorce wannabe. Cerita dimulai saat akhir tahun lalu, saya dan Ibu konsultasi ke dokter, memeriksakan tonjolan di dada sebelah kanan saya. Tepatnya di bagian puting. Oia saya lupa, postingan ini untuk orang dewasa saja, karena banyak mengandung kata-kata kotor. Yak, kamu Daus Mini dan Adul, berhenti membaca, sekarang!

/**************************/

Bertahun-tahun sebelumnya, saya sebenarnya sudah merasakan gejala tidak normal di puting kanan. Ukurannya lebih besar dari yang kiri. Saya sempat tanya sama teman, dia menenangkan kalau itu cuma karena saya lebih sering menggunakan tangan kanan daripada tangan kiri untuk angkat beban berat. Teorema yang sungguh kampungan tapi saya telan mentah-mentah. Akibatnya, saya tidak pernah konsultasikan itu ke dukun beranak, apalagi dokter spesialis. Saya baru sadar saat ukurannya sudah sebesar dada gadis usia 12 tahun. Pikir saya, "Bagus, akhirnya cita-cita saya masuk Oprah Winfrey Show subtopik transgender kesampaian juga.."

Akhir tahun 2010 (tepatnya saya lupa, kalau tidak salah sebelum lebaran haji), saya dan Ibu memberanikan diri pergi ke salah satu Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin (SpKK). Membayangkan "Kulit dan Kelamin", saya berpikir saya akan mengantri di ruang tunggu bersama orang-orang yang sibuk garuk-garuk borok, atau memegang selangkangan sambil meringis. Tentu pikiran saya terlalu jauh mengawang-awang.

Akhirnya tiba giliran saya masuk ke ruang periksa.

Dokter : Hmmm... Iya nih, tumor jinak mungkin. Tuh lihat, yang ini (sambil meremas-remas puting kiri) dada laki-laki, tapi kalo yang ini (meremas-remas puting kanan) punya cewek...
Saya : (dalam hati) Woi Dok, sekali remes bayar limapuluh rebu Woi!!

Dokter menyarankan untuk operasi. Namun karena waktu itu Ibu dan Ayah hendak berangkat ke tanah suci, akhirnya diputuskan saya akan dioperasi setelah orang tua pulang ke tanah air sahaja, supaya di sana mereka tidak terlalu banyak pikiran. Untuk sementara saya diminta meminum obat (yang saya nggak tahu gunanya apa, mungkin Obat Pengecil Payudara, seperti yang diminum Titi DJ).

Di Mekkah, Ibu tak henti-hentinya berdoa untuk saya. Beliau khusus di Padang Arafah untuk saya seorang. Bukan hanya soal kesehatan, namun juga soal kehidupan yang lebih baik. Beliau lupakan penyakit beliau sendiri, yang sebenarnya jauh lebih parah dan bertahun-tahun ada. Terima kasih Ibunda... Maafkan anakmu yang tak tahu membalas budi ini. Sungguh tak pantas rasanya ananda yang kotor ini mencium kakimu nan suci.

Akhir Januari, keadaan saya tidak berubah. Nenen masih besar sebelah, masih sakit bila dipegang. Kami kembali konsultasi ke dokter yang sama. Akhirnya diputuskan, saya akan naik meja operasi tanggal 31 Januari, hari Senin, jam 4 sore. Kami memilih dioperasi di klinik saja. Pertama, tentu karena biaya yang lebih murah (saya tidak masuk tanggungan asuransi kala itu). Kedua, kalau di rumah sakit, kami perlu mengantri, dan itu makan waktu lama. Ketiga, setelah operasi di klinik, tidak perlu birokrasi macam-macam, dan boleh langsung istirahat di rumah.

Saya : Dok, apa yang perlu saya persiapkan sebelum operasi, selain puasa dari pagi?
Dokter : Hmm.. Kamu muslim kan?
Saya : Nggak Dok, saya nyembah pohon, kadang2 nyembah helikopter SAR yang suka lewat di atas rumah. Ya iya lah Dok, saya muslim...
Dokter : Oke, yang kalem aja ya.. Cuma operasi kecil. Jangan berpikiran macam2. Tenangkan diri saja. Banyak2 berdoa.

Terus terang saya malah sangat-sangat tenang, tidak berpikiran macam-macam. Tidak takut, padahal sudah dekat dengan maut. Mungkin karena sudah sering hampir mati dibunuh para pesaing bisnis. Pada saat konsultasi, saya pernah bersebelahan dengan seorang ABG yang juga habis dioperasi nenennya. Ia bilang, ia tak terlalu ambil pusing dengan penyakitnya. Bahkan ia dan teman-temannya akan pergi ke tempat karaoke setelah itu. You hear that Titi DJ!? Even with only one boob, one can still sing!!

Akhirnya hari yang dinanti telah tiba. Setelah sholat 'Ashr saya diminta berdoa, ganti baju dan naik ke tempat tidur. Sebelumnya Ibu juga diminta untuk menandatangani perjanjian pra operasi. Di situ sudah ada 2 orang perawat yang membantu. Saya baru tahu bahwa dalam sebuah operasi, yang bekerja adalah tim. Ada dokter yang menangani anastesi (bius), ada dokter spesialis/bedah, macam2. Bahkan mereka harus berangkat dari operasi ke operasi yang mungkin saja beda rumah sakit/klinik. Jadi, setiap uang yang kita keluarkan untuk operasi, sebenernya worth every penny.

Jam setengah 5 sore operasi baru dimulai. Semua diminta berdoa. Saya lalu disuntik, diajak ngobrol, dan tertidur. Mata saya baru terbuka jam setengah 7 malam. Saya lihat sekeliling. Ruangan sepi dengan warna dinding dan tirai putih? Subhanallah.. Inikah yang dinamakan surga? Kok kecil amat? Mana nih bidadari yang katanya semlohay dan bahenol? Owh, rupanya saya masih hidup. Alhamdulillah.. Saya bangun dan langsung duduk. Perawat yang semula berkutat dengan hapenya, langsung bangkit ke arah saya. "Hloh Bang? Kok udah sadar? Tidur aja.. Baring aja Bang, baring... Sesak nggak? Nanti kita pasang oksigen.."

Saya bingung. Orang habis operasi itu kudunya lemes kah? Saya malah sempat foto-foto pasca operasi. Ada selang mengarah ke tabung kecil untuk mengalirkan darah. Tak lama, Ibu dan Ayah datang. Kakak juga. Saya melihat semacam lemak yang "diangkat" dari susu saya tadi. Jadi, cuma kayak begini toh isi nenen itu?

Sekitar jam 8 malam, dokter datang, dan saya pun boleh pulang. Semacam operasi Drive Thru sahaja. Saya kuat berjalan sendiri, turun tangga sendiri, bahkan saya pengen bawa mobil (di rumah cuma saya dan Ayah yang bisa nyetir waktu itu). "Jangan sok-sokan!" cegah Ayah. Dan beliau yang setir mobil hingga sampai di rumah kami di kampung.

Di rumah, saya harusnya istirahat total. Namun karena banyak tingkah, dan tidak sadar diri kalau habis operasi, akhirnya sore harinya, saya demam. Firasat saya tidak enak. Saat itu hari Selasa. Malamnya kami harus ke kota lagi untuk konsultasi. Saat tiba di ruang periksa (cuma Ayah yang ikut masuk), dokter kaget.

Dokter : Waahh.. Ini bengkak ini.. Darahnya nggak keluar!

Dengan alat yang saya tak tahu apa, dokter mencoba untuk membuka lagi luka operasi. Darah merembes keluar. Ia coba terus menekan dada saya, dan (mungkin) dengan suntikan, dihisapnya dada saya. Owh yes, he sucks my tit, ya tapi pake alat lah.. Tidak berhasil. Saya makin meringis. Ia kembali menekan dada saya. Darah muncrat ke mana-mana, termasuk ke baju kerjanya yang putih. Yes, I was squirting through my tit. Saya tahan diri untuk tidak berteriak.

Dokter : Nggak bisa ini Pak, kita bawa ke RS xxxxxx aja ya! Ini mesti dibuka lagi, operasi. Gimana? Kok bisa bengkak ya? Obatnya diminum kan? Atau kebanyakan gerak?

Diberondong pertanyaan begitu, sambil melihat anaknya bersimbah darah, siapa yang tidak panik? Tapi tak lama, Ayah mengangguk setuju. Dokter langsung pasang perban baru dan korset penyangga. Dokter tanya apakah Ayah bawa mobil, dan langsung minta kuncinya. Dokter yang akan menyetir. Saya duduk di tepi tempat tidur. Dalam duduk saya sempat pingsan, mungkin sekitar 2 menit. Saat sadar, saya langsung pakai baju, dan dipapah keluar, meninggalkan orang-orang yang duduk mengantri sambil garuk-garuk borok dan meringis memegang selangkangan. Nggak ding, mereka tentu terdiam melihat saya tahu-tahu keluar dari ruang periksa dengan berlumuran darah begitu.

Saya sebenarnya mau melambaikan tangan ke arah para fans yang melongo, tapi saya terlalu lemah untuk itu.

*para pembaca bersiap-siap menyiram luka operasi dengan air perasan jeruk nipis*

Setelah saya duduk di mobil, dokter langsung tancap gas menuju rumah sakit (tak jauh dari klinik). Ayah duduk di belakang. Setelah sampai, bla bla bla, birokrasi khas Rumah Sakit dulu, dan akhirnya diputuskan saya akan naik meja operasi lagi jam 12, malam itu juga. Saya pun dibawa ke ruang inap untuk sementara. Saya diminta untuk puasa, dan tidur sebentar.

Jam setengah 12 malam, saya dibangunkan. Disuruh buka semua baju. Hah?? Tengah malam begini, saya disuruh striptease?! Tega-teganya kalian! Rumah sakit macam apaa ini?! Oh, rupanya disuruh ganti baju operasi. Yup. Here we go, pertandingan dengan maut, babak kedua. Gong!

Semua dokter sudah siap. Seperti biasa, saya diminta berdoa. Saya pun disuntik (atau bius via infus ya? Saya lupa), diajak ngobrol macam-macam, hingga tertidur.

Saya terbangun jam setengah 2 pagi, dan sudah di ruang rawat inap yang berbeda (Ibu saya ternyata mau saya dirawat di ruang dengan kelas lebih tinggi, biar cepat sembuh mungkin. Terima kasih Ibunda.. Bagaimana anakmu ini akan membalas jasa-jasamu?). Suster yang menjaga heran, "Hlo, sudah sadar ya, Bang? Cepet banget..."

Saya mikir, ini jangan-jangan dokter anastesinya kasih dosisnya kurang?? Coba seandainya saya sadar saat tengah dioperasi. Dalam keadaan panik begitu, dengan kumpulan lelaki yang sedang mengorek-ngorek puting saya, saya pun jadi histeris dan teriak-teriak, "Di mana ini? Hah? Siapa kamu??! Apa yang kalian lakukan dengan payudaraku?? Lepaskan!! Dasar lelaki biadaabb!! Lepaskaan!! Lepaskaaaannn!!!"

Okay. Stop it Bo. That's too much. Imajinasimu terlalu liar. Tidak tahukah kamu kalau Aa Gym sekeluarga turut membaca blog ini ??

Alhamdulillah. Saya bersyukur bisa diberi kesempatan hidup. Berkumpul kembali bersama keluarga. Di hari Rabu pagi, saya dimandikan oleh suster jaga, dan dua orang pula. Semacam gangbang versi softcore begitu. Pernah di hari kedua, karena pagi2 sekali sekaligus sambil menahan rasa ingin kencing (maksud saya, I'm a man, and it's in the morning!!)..

Suster : Hihihihi... Santai aja ya Bang, nggak usah malu...
Saya : (narik napas yang panjang berkali-kali, berusaha rileks, serba salah)

Tragis sekali kalau mengingat kalau jalan ke kamar mandi untuk kencing saja saya sulit, semacam menjadi peserta Be A Man. Pernah sekali waktu,

Saya : Selamat ulang tahun Mbak...
Suster : Eh, kok tahu? Belum Bang, masih berapa hari lagi...

Saya tahu itu dari namanya, yang entah Febrianti, atau Febriana, saya lupa. Yang pasti bukan Febrianto, apalagi Rio Febrian.

Saya benci Rumah Sakit sebenernya, dengan segala birokrasi dan keramahan bisnis, yang memanfaatkan orang hampir mati dan ingin hidup lebih lama. Seperti yang dibilang Seno Gumira Ajidarma, "rumah sakit bikin orang tambah sakit". Bayangkan paduan warna dinding, tirai, seprai, dan langit-langit yang senantiasa pucat. Belum lagi dokter dan perawat yang memakai baju serba putih. Seandainya boleh mengkhayal, di tengah malam buta, seorang dokter dengan jas putihnya, dipandu perawat yang siap mencatat, bertanya pada saya dengan nada dingin dan datar, "Bo, apakah kamu sudah siap?"

Saya : Allahuakbaaarrr... Ampuunn.. Ampun Om Malaikaaat... Saya belum siap matii.. Plis jangan ambil nyawa sayaaa.. Huhuhuhu... (nangis histeris)
Dokter : Bang, Bang... Sadar Bang, saya dokter jaga. Cuma mau check tensi darah.
Saya : #kemudianhening

/**************************/

Setelah operasi yang kedua, justru saya semakin banyak mikir, semakin sering bengong, berdiam diri dengan tatapan kosong, melamunkan apa yang sudah terjadi. Berat badan saya turun drastis, mungkin karena stress. Saya juga heran mengapa ini tidak terjadi sebelum saya operasi.

Saya membayangkan :
0. Boleh jadi operasi saya gagal. Bagaimana seandainya kalau saya MATI malam itu? Apa yang mau saya jadikan jawaban di depan malaikat penginterogasi saya nanti? Padahal saya punya banyak waktu sejak akhir tahun 2010 hingga awal Januari. Mengapa tidak saya manfaatkan untuk introspeksi diri, berusaha jadi orang baik-baik? Sering-sering ngaji kek, lebih sering ke masjid kek, silaturahmi dengan tetangga kanan kiri kek. Rasa-rasanya saya terlalu sombong, terlalu yakin bahwa saya akan hidup sampai 100 tahun lagi.

1. Teman satu kamar saya, Pak Yahya namanya, mengidap penyakit ginjal sehingga mengharuskan beliau cuci darah. Dan itu tidak murah. Demikian pula dengan keluarga kami. Ayah saya pensiun tahun 2011 ini, demikian pula Ibu. Setengah mati mereka berdua mengumpulkan tabungan, dan ternyata hanya habis untuk membantu saya operasi. Apa balasan saya buat mereka berdua? Jadi anak yang selalu menyusahkan. Bagus Bo. Di neraka, silakan pilih, mau kamar nomor berapa?

2. Saya tidak mau mati muda karena hal yang kurang keren. Dan operasi tetek jelas-jelas terlalu feminim, dan sangat tidak parlente kedengarannya.

"Ses, tahu nggak, anaknya Jeng Anu, kasihan ya masih muda udah meninggal..."
"Oh ya? Ya Oloh... Masak sih, Jeng? Emang sakit apa?"
"Itu, katanya sih waktu operasi nenen...."

3. Saya jadi paham bahwa ternyata di dunia ini, walaupun saya jadi sampah masyarakat, ternyata masih banyak yang peduli dengan saya. Keluarga, teman-teman, bahkan grup Ibu-ibu pengajian RT sampai datang ke rumah. Semuanya berharap untuk kesembuhan saya. The moral of the story is, kalau Anda merasa Anda adalah orang paling jahat dan tidak berguna di bumi, tetaplah dalam pengharapan. Anda tidak tahu siapa yang bakal buat Anda berubah. Tuhan Maha Baik. Ia akan Cari cara supaya Anda pada akhirnya sadar. Salah satunya dengan memberikan penyakit pada nenen.

Sekitar sebulan setelahnya, hasil laboratorium tiba. Tertulis di situ...

"Tidak ada keganasan. Mikroskopik : menunjukkan potongan jaringan mamma dengan hiperplasia epitel kelenjar dan epitel duktuli di antara stroma jaringan fibrocollagen luas dan jaringan lemak matur"

Cih! Apa-apaan ini?! Apakah mereka tidak pernah diberi ilmu komunikasi? Bagaimana cara saya menjelaskan kepada Ibu-ibu di jalan kalau begini caranya?

Ibu-ibu : Mas Bo kemarin dioperasi karena sakit apa?
Saya : Anu Bu, nenen saya... (narik napas panjang) menunjukkan adanya potongan jaringan mamma dengan hiperplasia epitel kelenjar dan epitel duktuli di antara stroma jaringan fibrocollagen luas dan jaringan lemak matur..
Ibu-ibu : (langsung membuka wikipedia pake iPhone) bentar-bentar, apa tadi barusan?
Saya : Anu... Nenen saya... (menarik napas lebih panjang lagi dari sebelumnya) menunjukkan.. adanya.. potongan.. jaringan.. mamma.. dengan.. hiperplasia.. tulisannya ha i pe e er pe el a es i a epitel.. kelenjar.. dan.. epitel.. duktuli.. di.. antara.. stroma.. jaringan.. fibrocollagen..tulisannya ef i be er o ce o el el a ge e en luas.. dan.. jaringan.. lemak.. matur.. (ngos-ngosan)

Saya sungguh berterima kasih pada dokter yang mengoperasi saya. Beliau baik, berjasa, dan pada operasi kedua beliau yang tanggung biaya operasi (kami cuma bayar obat dan bea rawat inap). Lebaran kemarin saya SMS dia. Saya doain yang baik2.. Dan dibales! Semacam mendapat mention dari selebtwit deh...

Pada akhirnya, saya tidak larut dalam bayangan-bayangan "bagaimana seandainya kalau waktu itu". Yang sudah terjadi biarlah. Penyakit sudah dibuang. Seperti kata Linkin Park..

I bleed it out, digging deeper just to throw it away...

--- Terima kasih sudah membaca, semoga ada manfaatnya :) ---

Ralat : ternyata dokter spesialis yang kami kunjungi adalah memang Spesialis Bedah (Sp.B), bukan Spesialis Kulit dan Kelamin (Sp.KK). Oke, itu menjelaskan mengapa tidak ada orang garuk2 borok dan meringis memegang selangkangan di ruang tunggu.

2 komentar:

  1. ngakak....gaya bahasa.u tetep wae, bebas pencitraan :p
    perlu dikontrol lagi kah?take care yaaa :D

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas apresiasinya. Sekarang nggak perlu periksa lagi. Tapi bentuknya jadi aneh :|

    BalasHapus

speak now or forever hold your peace

About Me