"Koh"

Bismillah

Image by memegenerator.net
DISCLAIMER : tulisan ini tidak dimaksudkan untuk ajang rasisme. Jikalau Anda termasuk yang mudah tersinggung, silakan berhenti membaca.

***

Ibu saya memang seorang keturunan Tionghoa, namun beliau sejak bayi merah langsung dibesarkan (dijadikan anak asuh) oleh Mbah saya yang Jawa tulen. Fakta ini pun baru saya ketahui (diceritakan Ibu) saat saya sudah kuliah. Sebelum itu? Ya saya percaya sahaja kalau kami ini (anak-anak Ibu) adalah anak Jawa asli, karena Ayah saya orang Karanganyar, Jawa Tengah. Ibu juga tidak bisa berbahasa Tionghoa, tidak tahu budaya Tionghoa, dan seterusnya. Namun intinya, saya ini sebetulnya Cina hybrid alias KW super bin karbitan, atawa masih punya darah Tionghoa, asli dari Ibu.

Mata kita harus terbuka (kecuali buat yang sipit ya) bahwa kita hidup di dunia yang orang-orangnya sering berkelahi hanya karena perbedaan, entah itu warna kulit atau ras. Namun saya harus merasa beruntung karena 2 hal. Pertama, ada sebagian orang yang sedemikian dewasa dan berwawasan luas, sedemikian sehingga mereka bisa memaklumi perbedaan dan menertawakannya bersama-sama lewat kelakar. Keberuntungan kedua, saya hidup bersama orang-orang itu.

Topik apa saja, di tangan teman saya misalnya, Didit Komeng S.Kom, M.Hum (Sarjana Komedi, Master of Humor), bisa jadi kelakar yang teringat berlama-lama. Tokoh-tokoh yang lain juga tak kalah heboh. Sebut saja si Joe yang menasbihkan diri sebagai legenda Kampus MIPA Selatan Universitas Gadjah Mada (yang bangunannya kayak benteng peninggalan Belanda), atau Septo yang ketua angkatan sekaligus pemimpin grup lawak Ilmu Komputer 2004.

Dengan IT skills yang ala kadarnya, kami semua jadi yakin bahwa kami memang dididik untuk menjadi seorang S.Kom. Sarjana Komedi, bukan Sarjana Komputer. Jangan heran grup WhatsApp angkatan isinya ya cuma ngakak-ngakak sahaja sepanjang hari. Ujungnya selalu tiada enak karena masing-masing orang bakal diejek sesuai ras, warna kulit, kesalahan di masa lalu,  level kemonyongan bibir, dsb.

Pengalaman saya berkaitan dengan kesipitan mata atau putihnya kulit juga tidak sedikit. Di semester awal kuliah misalnya, belakangan saya tahu teman-teman tidak ada yang ngajak Jumatan soalnya mereka pikir saya Kong Hu Cu. Di Jakarta Barat, lingkungan pabrik saya yang lama, rata-rata warga, ketua RT, pengurus masjid, kasir Indomaret, sampe anak-anak SD, panggil saya "Koh". Belum lagi pengalaman berkali-kali hampir makan daging babi di warung karena dianggap orang non-muslim.

Kalau dipikir-pikir pengalaman-pengalaman seperti di atas nggak terlalu enak dialami. Tapi, semakin ke sini, saya menjadi paham bahwa kadar kematangan usia dan tingkat pendidikan berpengaruh pada seberapa mudah seseorang diprovokasi dan mudah tersinggung. Semakin matang, semakin berpendidikan, berarti semakin bisa memaklumi perbedaan dan joke bernada rasis. Itu! *pake gaya Mario Teguh*

Mulai populernya stand up comedy atau komedi tunggal di negeri ini, sedikit banyak mengubah cara kita tertawa. Dulu mungkin kita tertawa karena inferiotas kita sebagai manusia. Kita senang sekali tertawa di atas penderitaan orang lain. Namun di komedi tunggal, kita mulai berani menertawakan diri sendiri. Isu bangsa kulit hitam bahkan dibawakan secara apik di komedi tunggalnya Richard Pryor di US sana. Om Richard ini notabene ya orang kulit hitam juga!

Di Indonesia mungkin ada Ernest Prakasa (ernestprakasa.com) dengan membawa materi komunitas Tionghoa. Tagar #CinaBanget di Twitter yang bermuatan olok-olok, sebagian besarnya justru dibuat oleh orang-orang Tionghoa. Artinya, masyarakat kita sebenarnya sudah mulai pandai, matang, dan tidak mudah panas. Boleh loh, lain kali orang Batak bikin guyonan soal orang Batak, orang Jawa bikin juga tentang orang Jawa, dst. Tentu bukan dengan maksud merendahkan, tapi sekadar belajar merefleksi diri sahaja.

Orang Cina itu kan identiknya sama bisnis dan dagang. Udah gitu pelitnya naujubilah. Mangkanya banyak yang kaya. Hahahaha (ngetawain diri sendiri). Saya pengen cerita soal temen saya yang Cina. Jadi waktu SD saya punya temen namanya Fredi... *clingcling, awan muncul di atas kepala, scene mulai ngeblur dan berwarna hitam-putih, latar belakang tahun 90-an, kayak di pelem-pelem jadul*

Ituh nama Fredi gitu doang, nggak ada Fredi Merkuri atau Fredi Supardi kayak orang Sunda. Bener-bener cuma "Fredi". Nah, si Fredi ini asli #CinaBanget. Bayangkan, sejak SD, Fredi temen saya ini sudah berjualan macam-macam barang di sekolah. Tipikal pedagang sejati. Mulai dari manggis, langsat, isi pulpen, mi kremes,  sampai cabutan (yang hidup di jaman 90-an pasti tahu, ada permen telur cicak yang dibungkus terus di dalemnya ada nomor. Nah, nomornya itu bisa ditukerin hadiah).

Itung-itungan dagangnya Fredi ini juga kalau saya ingat-ingat lagi, sangat mengerikan detailnya. Di umur yang sama (waktu itu belum dikasih tahu Ibu kalau saya Cina), saat saya cuma bisa main kelereng, Fredi sudah bisa merumuskan bahwa cost untuk mereparasi sepeda peninggalan sepupunya akan lebih murah daripada ongkos angkot rumahnya ke sekolah pulang pergi hingga lulus (waktu itu  kami kelas 6 SD).

Satu-satunya kegagalan Fredi dalam dunia bisnis yang saya tahu adalah saat ia berusaha mengumpulkan bonus (harus ada 100 nomor unik) dari makanan ringan (semacam jet-Z atau Chiki tapi saya lupa mereknya) untuk ditukar Nintendo. Fredi tidak tahu bahwa ia hanya dikibuli orang marketing. Kasihan Fredi. Namun takdir berpihak padanya. Ia bisa membeli Nintendo juga, yang saya tak tahu uangnya ia dapat dari mana. Bole juga lu, Pred.

Fredi, jika kamu kebetulan membaca tulisan ini, segera hubungi saya, Prabowo Murti, teman sebangku mu dari kelas 5 SD. Kita bikin perusahaan tambang batubara bareng. Tapi modalnya pake duit kamu dulu ya, Fred? #ogahrugi Hahahaha.


Ibu agak telat ngasih tahu kalau kami ini orang Cina. Dulu dagangan pertama saya waktu SMP adalah es batu ke warung makan. Jika kompetitor masih level rumahan juga, saya tak gentar. Usaha es batu saya masih bisa eksis, lebih eksis dari abege alay di Inbox. Tapi, suatu pagi, saya melihat sendiri sebuah mobil box dengan muatan berbalok-balok es batu. Saat itu saya sadar, saingan saya sudah setingkat dewa dengan modal beratus-ratus kali lipat lebih besar. Nyali saya ciut. Saya berhenti, dan mundur dari kancah bisnis.

Seandainya Ibu cerita lebih awal, mungkin saya masih semangat berbisnis dari usia dini. Orang Cina dinilai sebagai bangsa pekerja keras (layaknya kebanyakan orang Asia Timur seperti Jepang atau Korea). Kalau saya start bisnis dari SD seperti Fredi, mungkin sekarang saya sudah menjadi pengusaha es batu terjaya di Indonesia, karena hati saya akan terus menyemangati, "Kamu orang Cina, kamu tidak boleh menyerah. Usaha terus! Kalau perlu sampe di pipi ada codet kayak Kenshin Himura!"

Kerja kerasnya orang Cina ini memang sering saya buktikan sendiri. Koh A Jan misalnya, yang punya toko kelontong di pasar Parit Keramat, Dusun Keramat Jaya. Rumah sudah buesar buanget, mobil ada, plus usaha taksi juga. Tapi istrinya pagi-pagi buta sudah bangun dan masukin minyak goreng curah ke kantong ukuran satu kilo buat dijual 10ribu perak (kalau dipikir, ngapain lagi sih ngejar untung recehan?). Orang Islam pribumi? Pas adzan shubuh telinganya udah terlanjur dikencingin setan jadi nggak bangun-bangun.

Orang Islam pribumi? Pas adzan shubuh telinganya udah terlanjur dikencingin setan, jadi nggak bangun-bangun.

Salah satu karakter orang Cina yang terkenal adalah hemat. Nggak bakalan duit keluar kalau nggak penting. Mereka ini hematnya menjurus ke pelit cetar membahana, alias hemat pake banget. Beli kentang di warung A sekilo harganya 3000 perak. Kalo di warung B cuma 2800 perak, tapi agak jauh. Dijabanin jalan kaki demi selisih 200 perak. :))

Udah dulu ya, mau balik jaga toko.. *pake kaos singlet sambil kipas-kipas*

2 komentar:

  1. wah tulisanmu cukup menyesatkan juga ternyata, Mas, selevel sesatnya sm tulisannya Pak Haji dan Paman Patih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar sekali Peh, tentu satu paguyuban berarti satu aliran. Aliran sesat maksudnya.. :D

      Hapus

speak now or forever hold your peace

About Me