Dulu sebelum berangkat, saya sempat cerita ke Ibu.
"Mau dibikinin sambal kering tempe? Mau bawa rice cooker mini kah?" komentar beliau.
Ah, masak sih ndak ada yang jualan di sana? Jadi saya jawab, "Tidak usah repot-repot, Bu."
Dan memang betul bahwa insting orang tua itu sering kali luar biasa akurasinya, walau di luar nalar manusia. Di sana, selama 3 hari, sulit sekali cari makanan! Yang jualan sih banyak, hanya saja semuanya pakai be-a-be-i.
Dimulai dari tempat kami menginap. Nasi gorengnya, sosisnya, sayurannya, lauk-pauknya, semuanya sama pake be-a-be-i. Jadi ane cuma ambil telor rebus sama air putih. Mandor pabrik yang juga ikut waktu itu makan dengan lahap, kan dia non muslim. Kirain ane gratis kayak sarapan di hotel. Eh, ternyata begitu keluar disuruh mbayar. Syukurlah. Hahahaha.
Di tepi jalan juga banyak yang jualan. Tapi kalau ayamnya nggak disembelih pake bismillah, kan jadi masalah juga? Mau nanya kesannya ndak sopan. Plus ndak ngerti bahasanya. Kusut.
Ke mini-marketnya juga sama. Bingung mau beli apa, karena ndak ada logo halalnya dan tulisannya ndak ngerti. Bahkan ane sempat ketemu Mamak-mamak pake jilbab, dia tanya apakah produk yang dia mau beli ada kandungan udangnya. Ane baru inget, orang Turki kan kebanyakan nggak makan udang. Beda mazhab.
Itulah. Ternyata di balik kesulitan kita, ada orang lain yang lebih susah lagi. Mesti banyak sabar dan syukur.
Akhirnya mesti agak jauh ke daerah Nara, dicariin kebab sama juragan. Terus ke supermarket yang lengkap, nemu Indomie goreng. Alhamdulillah...
Pesan ane, pesan orang tua dilaksanakan sahaja dulu. Walau kesannya di awal tidak masuk akal, niatkan saja sebagai bakti baik, apalagi ke Ibu. Terang benderang disuruh bawa payung? Bawa aja dulu. Dibekalin air minum sama nasi walau perjalanan dekat? Angkut aja. Doa Ibu itu sungguh mustajab, lebih ampuh dari doanya ulama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
speak now or forever hold your peace