Jogja dan Klakson

Bismillah

Septo nikah. Jadi Jumat malam saya berangkat ke Jogja pakai kereta api ekonomi dan Minggu sore pulang, dengan alasan finansial, juga dengan kelas ekonomi. Karena kehabisan tiket dari PT KAI, akhirnya pesan ke "agen". Akibatnya pakai ID orang lain. Melanggar hukum, tapi kan kita bukan orang jahat. Ngeles 2019.

Jogja berubah. Drastis. Di 2015 saat Sigit nikah, Jogja sudah ramai. Harga tanah dan rumah sudah meroket. Sekarang, Jogja bukan Jogja. Idealnya Jogja itu tidak macet. Sekarang jalanan dipenuhi mobil. Sepeda tak nampak. Asap kendaraan bikin hati sesak. Jika mengingat dulu kuliah di sini 4 tahun lebih, kok jadi sedih, tapi nggak keluar air mata.

Apakah kota ini akan tumbuh menjadi kota bisnis nan materialis, yang kehilangan sisi humanis dan kearifan lokalnya? Jangan sampai di Jogja ada suara klakson. Semoga.

2 komentar:

  1. Dulu ketika masih kuliah, akupun bercita-cita untuk tinggal di Jogja lagi...
    sekarang wis wegah. golek yang cedak mamak saja...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama mak. Harusnya masih banyak alternatif kota lain.

      Hapus

speak now or forever hold your peace

About Me