Rumah

Bismillah

Rumah sangat sederhana sekali kami ini, waktu beli dulu, punya kisah tersendiri. Sekitar 5 tahun lalu, karena tidak ada uang, saya tidak ada rencana. Tapi takdir berkata lain.

Pagi itu sehabis shubuh, Bapak jalan kaki dari masjid ke arah pasar. Benar-benar sekadar jalan kaki. Tak sengaja, lewat di depan sebuah rumah yang sedang dibangun. Rencananya ada 10 unit kala itu, nomor 1 dan 2 sudah berdiri. Mau dijual, kata pekerja di situ. Iseng, Bapak minta brosur. Minta pendapat saya, beliau mengusulkan mulai mencicil rumah. "Ambil yang nomor 1 saja, jadi bisa langsung ditempati," pikirnya.

Diskusi keluarga pun dimulai. Bapak fokus pada kesempatan emas ini. Abang fokus pada kualitas bahan bangunan, lokasi, kadar kepercayaan dengan pengembang, dsb. Sedangkan saya sendiri mulai bingung, "bagaimana saya akan membayar ini semua?" Namun Ibu menenangkan dengan "insya Allah ada jalannya, niatkan supaya punya tempat tinggal yang dekat dengan keluarga". Ada benarnya, sih. Tapi kalau lihat saldo tabungan yang seringnya tidak bisa diambil di ATM walau selembar, kok kayaknya ndak mungkin.

Tapi palu sudah diketok. Keputusan sudah final. Diskusi keluarga dianggap selesai. Saya jelas kalah suara. Sekira jam 7 pagi, kami menelpon, pesan nomor 1, untuk selanjutnya pengembang akan datang jam 9 untuk mengurus tanda jadi dan sebagainya.

Tak dinyana, saat Pak Een datang, beliau menyampaikan hal mengejutkan.

"Maaf Pak, nomor 1 udah ada yang ambil"
"Hlo, tadi pagi katanya masih kosong?"
"Iya maaf Pak, tadi jam 8 orangnya datang ke kantor. Langsung DP 2 juta"

"Nggak beres nih," kata Bapak dalam hati. Agak dongkol. Kami menyatakan pikir-pikir. Pak Een pun pulang.

"Gimana kalau kita ke situ, Bapak pengen lihat sekali lagi," Bapak belum menyerah rupanya. Boleh jadi beliau ini mampu melihat yang tak terlihat. Vision. Kami berangkat. Diskusi keluarga tahap kedua dimulai. Perut saya mulas.

"Gimana kalau kita ambil nomor 7, tanahnya sedikit lebih luas," Bapak memulai ketegangan. Tanah lebih luas = harga lebih mahal. Pikiran saya makin kusut. Bapak dan Abang mulai negosiasi dengan Pak Een. Soal harga, soal kedongkolan barusan, soal rencana pembangunan. Layaknya caleg partai gurem yang kotak suaranya dihitung ulang, saya cukup menyendiri di pojok. Hasil akhirnya tak akan jauh berbeda. Diskusi keluarga tahap kedua selesai. Kami siap kasih tanda jadi untuk nomor 7.

Perut saya pun makin mulas.

Itu 5 tahun lalu. Bayangkan, kata orang kan beli rumah itu pengeluaran paling besar dalam hidup kita. Hla kok ini dalam hitungan jam, masih dalam satu pagi yang sama, keputusan penting itu diambil. Namun pada perjalanannya, kami sangat bersyukur. Alhamdulillah. Banyak sekali hikmah yang kami dapat. Kalau diceritakan satu-satu, kemungkinan tak akan habis selesai.

Rumah buat saya adalah tempat menghabiskan waktu paling lama. Atau setidaknya, idealnya begitu. Tempat kita melepas penat dan menenangkan diri. Rumah juga jadi pelindung aurat istri dan anak perempuan kita. Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

speak now or forever hold your peace

About Me