Jakarta dan Klakson

Bismillah.

Kemarin Jogja dan klakson sudah dibahas. Sekarang kita mau bahas Jakarta dan klakson. Seharusnya dua hal ini adalah entitas tak terpisahkan. Mendarah daging. Meresap hingga ke tulang. Bagai cinta Majnun kepada Layla, Romeo kepada Juliet, Napoleon pada Cleopatra, atau Liang Shanbo pada Zhu Yingtai.

Mau bagaimana lagi, di tengah tingkat stress yang tinggi, membunyikan klakson adalah bentuk pelampiasan atas kekesalan pada pemerintah, pada plokis lalu lintas, pada kenyataan hidup, dan entah apa lagi, barulah di urutan ke sekian, ada objek klaksonisasi sebenarnya : pengendara ugal-ugalan, emak-emak yang sein kiri belok kanan, atau sekadar orang kaya baru yang menyetir mobil secara lambat.

Objek klaksonisasi belum tentu salah. Tapi pembunyi klakson merasa tak mau disalahkan duluan, sehingga akhirnya adu cepat-cepatan pencet klakson. Seperti cerdas cermat SD. Salah minus 50, tapi kan kalau benar dapat 100. Jadi diambillah resiko itu. Yang tentu tak lupa disematkan sepasang mata yang melotot.

Bagai piramida makanan di jalanan, klakson pun punya level. Di level paling bawah ada pejalan kaki, yang memang tak bawa-bawa klakson. Bersama dengannya ada pesepeda yang walaupun punya klakson, bunyinya tak seberapa. Di level roda dua dimensinya banyak bin beragam. Mulai dari emak-emak, ojek online yang kalau ribut temennya dateng nolongin, atau pengendara motor besar. Ada pula pengendara roda dua yang tak perlu pakai klakson lagi, tapi suara bising knalpot yang tujuan intinya sama-sama mengintimidasi. Jangan lupakan eksistensi emak-emak atau aki-aki yang tiap mau belok pasti klakson. Entah apa pulak maksudnya?

Duh ane kebelet boker.

Kapan-kapan kita bahas klakson patwal, klakson truk tronton 18 roda, sampai ada orang pakai klakson untuk sesuatu yang tidak umum semacam jualan sayur, negur orang, atau pengganti suara pencet bel rumah.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

speak now or forever hold your peace

About Me