Tidak Naik Kelas

Bismillah.

Agak kurang suka term "tidak naik kelas" atau "tinggal kelas". Konotasinya sangat tidak enak didengar. Ketika anak itu tidak naik kelas, dia harus mengulang belajar hal yang relatif sama selama setahun penuh, bersama dengan anak-anak lain yang relatif lebih muda setahun. Jika tidak naik kelas lagi, maka secara psikologis anak tersebut akan ditambah "siksa"-nya setahun lagi. Demikian seterusnya.

Kok jadi ingat si Kori. Sekitar 9 tahun tidak ketemu, sudah sampai mana dia belajar sekarang?

Di hutan ada sekolah. Ada monyet, gajah, belatung, singa, sama ikan. Pelajarannya manjat pohon. Wajar kalau ikan nggak bakal lulus.

Anak itu bukannya tidak naik kelas. Lebih tepatnya, anak itu hanya sekadar nggak dipilih oleh sistem untuk lanjut ke kelas berikutnya.

Siapa yang buat sistemnya? Orang-orang di Kemendiknas (dan semacamnya).

Orang-orang ini, dari mana kita tahu dari kecil tidak pernah tinggal kelas? Bukankah jadi ironi, kalau sistem naik atau tinggal kelas ini, diciptakan oleh orang yang dulunya pernah tinggal kelas? Yakinkah kita kalau mereka-mereka ini tidak ada niat jahat untuk balas dendam kesumat dan jadi psikopat?

"Sialan. Guwa udah 3 kali gak naik kelas. Guwa akan belajar yang rajin supaya keterima jadi orang Depdikbud. Terus guwa ubah sistemnya. Biarin, biar makin banyak yang gak naik kelas juga. Emang enak, lengan udah banyak bulu tapi masih satu ruangan sama bocah kelas 2 SD terus?"

Dulu ane waktu SD langganan juara 1. Cuma di kelas 4 dapet juara 2. Kalau dipikir-pikir sekarang, demi apa? Demi rasa bangga dipanggil kepala sekolah dan disalami di depan ratusan siswa lain? Nggak ah, biasa aja. Demi mendapat hadiah peralatan tulis yang lumayan? Mungkin juga sih, namanya juga bocah. Demi kemudahan menjadi murid di SMP favorit? Sepertinya bukan, karena masih ada NEM atau nilai ebtanas murni yang jadi patokan. Terus, ngejar apa?

Masih ingatkah Anda dengan siapa yang menjadi wisudawan termuda, lulusan SMA terbaik, peraih rangking pertama abadi di SD? Kalau pun masih ingat, apakah fakta tersebut masih relevan saat ini? Jadi apa mereka-mereka itu saat ini?

Di kelas 1 SMP, sudah ada bibit-bibit liberalis di kepala. Benih pemberontakan. Pemikiran logis. Bahwa selama ini sistem pendidikan Indonesia itu nga-to-the-wur. Jadi sejak 1 SMP sudah mulai ada rasa malas. Apalagi video game menjamur. Eh, hlo kok ndilalah masih dapet juara juga. Ya itu rejeki namanya. Nggak dikejar, tapi masih dapet. Alhamdulillah.

Di kelas 2 SMP, lebih parah. Terdepak dari 10 besar. "Mungkin nggak cocok sama sistem semester" jadi alasan ke orang tua dan beberapa guru yang bertanya. Padahal, ya karena males aja.

Ada salah seorang teman. Bete namanya. Bete sebetulnya bentuk lain dari BT, singkatan nama panjangnya yang Bonifasius Timotius. Di SMP dulu kami punya pelajaran Muatan Lokal.

Belajarnya ngapain? Nebas rumput!

Beberapa teman bahkan menyebutnya romusha. Kerja paksa. Rodi. Gejolak perasaan tak senang menyeruak, tapi masih berupa gerakan bawah tanah. 

Si Bete ini, sebagai sesama rekan group liberalis tanpa nama, memulai percakapan. 

"Kok, mau kita dibodohin seperti ini, Wok?" katanya berapi-api. Dia pun berprinsip, daripada mengerjakan sesuatu yang nir nilai kemanusiaan, lebih baik kena sangsi berupa tugas membersihkan ruangan kelas. Sebagai sesama rekan yang tidak bawa alat tebas, ane waktu itu hanya angguk-angguk aja.

"Wok, nanti kalau bayangan guru kelihatan dari langit-langit, kita siap-siap angkat kursi ini sama-sama," katanya sambil duduk santuy, memulai sandiwara kami "bersih-bersih". Lejen bener ni orang. Ane nggak tau jadi apa dia sekarang. Jangan-jangan kerja di Kemendiknas?

Coba lihat orang-orang tua yang umurnya di atas 50 tahun tapi baru mulai belajar mengaji. Ane tidak yakin itu disebut sebagai "tinggal kelas". Kalaupun bertahun-tahun masih di level iqro' yang sama, bukan berarti orang tersebut "tinggal kelas", karena yang sudah (mengaku) lancar mengaji pun kadang-kadang masih harus masuk kelas tahsin. Ah, lagi-lagi soal istilah.

Yang masuk kelas tahsin, itu kan zaman dahulu juga belajar iqro' dan selalu "naik kelas". Tapi kok nggak bisa bedakan alif dan 'ain? Nah, itu dia letak kegagalan sistemnya.

Sama kan kayak sekolah formal? Yang "naik kelas" juga sebetulnya kebanyakan medioker dan nggak pinter-pinter amat. Yang "tinggal kelas", belum tentu "bodoh" dan kurang terdidik. Balik lagi ke pendapat ane di atas: perkara naik atau tinggal kelas, itu cuma parameter dari sistemnya.

Ngomong apaan sih ini jam 2 pagi? Haha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

speak now or forever hold your peace

About Me