Rumah

Bismillah.

Setelah sekitar 3 minggu terakhir tinggal bersama dengan orang tua, kami memikirkan dua hal.

  • Pertama. Ada anjuran agama untuk memisahkan rumah menantu dengan mertua. Paling minimal, masih seatap tapi berbeda dapur dan pintu masuk.
  • Kedua. Rumah orang tua sepertinya terlalu besar. Terkesan unmanageable. Saking besarnya, kadang ane sampai kirim WA ke Markonah.
"Tolong kalau balik ke kamar, bawain raket nyamuk sama handuk baru."
"Handuknya di mana?"
"Di lemari, di ruang penyimpanan air."
"Lemari di situ ada 4. Yang mana?"
"Lemari putih."
"Lemari putih ada 2, Mas."
"Yang ada kacanya."

Kami jadi berpikir tentang konsep hidup minimalis soal rumah. Mungkin 20 tahun lagi kita harus menghadapi isu serupa, yaitu ketika anak kami sudah menikah. Pasti banyak isu-isu terkait kerumahtanggaan: buat makanan, benerin genteng, pembelian perabot, manajemen listrik atau air, sampai hal-hal kecil seperti warna seprai bin gorden, atau seremeh posisi centong nasi.

Tidak bisa, ada dua nakhoda dalam sebuah kapal. Tidak bisa ada dua master koki dalam satu dapur. Dan tidak bisa ada dua ratu dalam sebuah kerajaan. Akan selalu ada gesekan kepentingan. Belum lagi hati wanita 'kan lebih perasa.

Mari bersepakat bahwa rumah orang tua itu jangan terlalu besar. Memang betul bahwa suatu saat mungkin orang tua menginginkan anak yang menempati rumah tersebut. Tapi di sebagian besar kasus, hal itu jarang terjadi.

Anak perempuan akan ikut suami. Kemungkinan bekerja di kota berbeda. Kalau anak lelaki, kemaskulinannya sebagai seorang kepala keluarga bisa terganggu ketika hidup masih dari periuk nasi bin rice cooker yang sama.

Oh, perlu digaristebalkan, ini pendapat kami pribadi dan bukan untuk kondisi orang tua saat ini. Ini pandangan kami untuk anak kami kelak.

Terus, apa yang akan diwariskan oleh orang tua kepada anaknya kalau bukan sebuah rumah?

Inilah yang ane pikirkan. Sebetulnya "investasi" itu tidak harus berbentuk rumah, kan? Apalagi yang terlalu besar dan mewah. Secukupnya saja untuk sebuah keluarga. Seiring waktu, kita akan sadar bahwa roda zaman terlalu cepat berputar.

Contoh, dulu Bapak saya membuat "bunker" untuk menampung air. Ukurannya besar di dalam tanah. Isinya air bersih yang ditampung di musim hujan. Sebagai cadangan air di musim kemarau. Sekilas di masa silam, ide ini normal saja. Tapi di saat sekarang di mana air bersih relatif lebih mudah didapat dari perusahaan penyedia air, rasa-rasanya sangat jarang rumah baru yang memiliki bunker serupa.

Apa yang ingin kami katakan? Alih-alih membesarkan sesuatu yang relatif kurang "abadi", kami ingin anak kami mendapatkan sesuatu yang lebih bernilai. Kami berpikir, mungkin seperti emas atau tanah kosong yang proyeksi pertambahan nilainya cenderung lebih baik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

speak now or forever hold your peace

About Me