Kalau kita tidak sepenuhnya memahami konsep takdir Allah, akan sulit menerima kenyataan bahwa sakit, kematian, hidup miskin, dan segala ujian kepayahan lainnya, dengan perspektif positif. Semakin sulit menerima bin tidak ikhlas lan legowo, maka semakin sulit kita mencapai level bahagia.
Sampai situ dulu narasinya. Kalau belum sepaham ya susah mau lanjut baca.
Kalau lihat tren Kopit ini, sepertinya memang agak susah mau mencapai state “tidak sampai tertular”. Walau ikhtiar sudah di kelasnya orang kena OCD. Dan OCD ini pun juga sebuah penyakit, sama seperti Kopit. Menghindar dari Kopit, lari ke OCD, depresi, hidup dalam ketakutan, sehingga sami mawon bin sama saja, saat imun tubuh turun, maka menjurus ke penyakit lainnya kayak jantung, diabetes, sistem pencernaan, dan sebagainya.
Alih-alih “menghindari Kopit”, coba kita perluas sudut pandang kita menjadi “saya ingin selalu sehat, tanpa penyakit apapun”. Jadi yang dihindari bukan sekadar Kopit, tapi ya semua penyakit. Sekarang kan gak gitu PoV orang-orang. Pakai masker, cuci tangan, jaga jarak. Tapi, berapa banyak dari kita yang masih:
Begini ya... Masalah kita bukan cuma Kopit, tapi fokus energi kita habis di situ-situ saja.
Hlo, kok Saudara seperti menyepelekan Kopit?
Kalau hal di atas dinilai belum maksimal, bagaimana kita melihat Saudara-saudara kita berkerumun di cafe ngobrol sampai pagi sambil menyelipkan Tuhan 9 cm di antara telunjuk dan jari tengah?
Tujuannya mending diubah menjadi “hidup sehat, tapi kalau sampai tertular, bisa bertahan dengan yakin pada Allah dan kemampuan tubuh merespon virus”. Menurut ane sih kalau pola pikir kita diubah menjadi seperti itu, balik lagi ke narasi awal tentang keikhlasan, kita akan lebih ringan menjalani kehidupan. Apalagi kematian.
— Pontianak, 3 jam sebelum mengantar Bapak tes swab.
Kalau lihat tren Kopit ini, sepertinya memang agak susah mau mencapai state “tidak sampai tertular”. Walau ikhtiar sudah di kelasnya orang kena OCD. Dan OCD ini pun juga sebuah penyakit, sama seperti Kopit. Menghindar dari Kopit, lari ke OCD, depresi, hidup dalam ketakutan, sehingga sami mawon bin sama saja, saat imun tubuh turun, maka menjurus ke penyakit lainnya kayak jantung, diabetes, sistem pencernaan, dan sebagainya.
Alih-alih “menghindari Kopit”, coba kita perluas sudut pandang kita menjadi “saya ingin selalu sehat, tanpa penyakit apapun”. Jadi yang dihindari bukan sekadar Kopit, tapi ya semua penyakit. Sekarang kan gak gitu PoV orang-orang. Pakai masker, cuci tangan, jaga jarak. Tapi, berapa banyak dari kita yang masih:
- Merokok
- Makan junk food
- Tidak pernah olahraga
- Begadang / tidur asal-asalan
- Minum alkohol
- Stress (mikirin utang?)
- Sanitasi buruk
Begini ya... Masalah kita bukan cuma Kopit, tapi fokus energi kita habis di situ-situ saja.
Hlo, kok Saudara seperti menyepelekan Kopit?
Bukan menyepelekan, karena usaha keluarga kami malah mungkin setara orang kena OCD. Sudah sejak Maret ketika diberlakukan PSBB, ane tidak Jumatan. Sudah tidak pernah ke masjid. Sudah turun jauh dari kasta ganteng. Tiap pergi ke tempat umum, cari yang sepi. Mesin ATM disemprot hand sanitizer. Gagang pintu Alfamart juga. Untungnya gak punya temen, jadi tidak pernah ada agenda nongkrong bareng ngopi atau arisan.
Kalau hal di atas dinilai belum maksimal, bagaimana kita melihat Saudara-saudara kita berkerumun di cafe ngobrol sampai pagi sambil menyelipkan Tuhan 9 cm di antara telunjuk dan jari tengah?
Tujuannya mending diubah menjadi “hidup sehat, tapi kalau sampai tertular, bisa bertahan dengan yakin pada Allah dan kemampuan tubuh merespon virus”. Menurut ane sih kalau pola pikir kita diubah menjadi seperti itu, balik lagi ke narasi awal tentang keikhlasan, kita akan lebih ringan menjalani kehidupan. Apalagi kematian.
— Pontianak, 3 jam sebelum mengantar Bapak tes swab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
speak now or forever hold your peace