Harga Imajinasi

Bismillah.

Kata Ibu, saya orangnya terlalu banyak menghayal. Imajinasinya liar. Suka lama merenung bin termenung. Kayak orang plonga-plongo. Yang tidak Ibu tahu, banyak yang saya pikirkan. Tentang hidup, tentang masa depan, tentang hal-hal kecil yang jarang dipikirkan orang kebanyakan.

Terlalu banyak khayalan ini juga yang membuat saya sering kali terjebak bersama teman satu kelompok, sedemikian sehingga hasil kerja bersama kami berantakan. Berantakan karena saya mengemukakan gagasan yang sulit buat diimplementasi.

Mungkin benar kata Markonah, 

"Nggak heran kamu tidak punya teman, Mas..."

Waktu SMP saya masih ingat kami diberi tugas prakarya. Sebetulnya perintahnya sederhana: silakan buat apapun dari batok kelapa. Boleh dikerjakan berdua satu kelompok. Waktu itu yang menjadi korban adalah Rahman Hakim. Dengan berapi-api saya mengutarakan ide "brilian" membuat asbak (atau toples?) yang bisa dibuka-tutup. Kira-kira sketsa kasarnya seperti gambar di bawah ini.


Batok kelapa dipotong seperempat, lalu diambil / dibuang sedikit bagian tepinya. Masing-masing bagian, diberi lubang sebagai poros. Poros inilah yang memungkinkan bagian seperempat tadi bisa menjadi tutup buat bagian yang lebih besar. Udah kayak coret-coretan Leonardo Da Vinci.

Yang tidak kami sadari, sulit sekali mencari batok kelapa yang bulat sempurna. Saat digergaji, kalau tidak presisi, batok kelapa bisa pecah atau minimal hasilnya tak seindah perhitungan di atas. Waktu itu tidak umum bengkel bubut dan sejenisnya.

Sudah jam 5 sore. Prakarya sudah akan dikumpulkan besok pagi. Rahman sudah sewot. Akhirnya kami memutuskan untuk bikin gayung saja yang simpel. Itupun masih harus dibantu Babeh. Kusut lah pokoknya. Saat dikumpulkan, dengan pelitur yang masih lengket, Bu Guru hanya komentar, "Cuma kayak gini mesti berdua?"

Kalau diingat-ingat, masih ada banyak kejadian terkait tugas berkelompok dari sekolah yang karena ide-ide saya yang absurd, berujung semrawut. Misal, tugas pembuatan peta Indonesia yang saya rancang timbul (mirip maket di TMII). Ujung-ujungnya gagal dan akhirnya bikin peta biasa aja pake krayon / cat air.

Lalu ada lagi tugas prakarya Pancasila dan Kewarganegaraan. Saya lupa tugas persisnya disuruh ngapain, tapi saya ngegas pengen presentasinya pake kertas karton atau kardus yang dibuat seperti roket. Yang lupa saya pikirkan, bentuknya yang besar membuat sulit dibawa dari rumah ke sekolah. Akhirnya di angkot sempat penyok dan kurang optimal.

Tidak masuk akal. Terlalu rumit. Ribet. Itulah komentar Markonah ketika hidup bersama Bob yang masih melanjutkan kebiasaan mewujudkan gagasan yang aneh-aneh bin tak wajar. Ada waktu idenya berhasil, tapi lebih banyak lagi yang kandas.

Mohon maaf ya... His name is also effort.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

speak now or forever hold your peace

About Me