Ibu Bekerja

Bismillah.

Seringkali ditanya pertanyaan sejenis ini:

“Mengapa istri tidak bekerja? Tidak sayang dengan pendidikan S2-nya?”

Yang paling utama, tulisan ini bukan mau berdebat tentang wanita bekerja versus wanita rumahan. Pasti sudah banyak yang membahas topik serupa. Ujungnya juga bisa ditebak, semua kembali ke preferensi masing-masing. Nulis ini karena keseringan dapat pertanyaan jadinya daripada bosan jawab itu-itu lagi, dibikin postingan blog aja. Haha.

Pertama, istri bukannya tidak bekerja. Tapi memilih bekerja dari rumah. Sambil jualan, bikin makanan beku, atau membantu membuat konten. Waktu banyak habis untuk anak yang belum mencapai usia masuk sekolah. Kalau ditanya, mengapa tidak jadi guru atau dosen yang penghasilannya lumayan besar? Mengapa tidak sayang dengan pendidikan yang sudah ditempuh sekian tahun dengan biaya yang relatif tidak sedikit?

Jawaban sederhananya: lebih sayang sama anak.

Kedua. Kalau istri (minimal) 40 jam seminggu di luar rumah, berarti harus cari pengasuh anak yang sebanding. Bukan hanya sekadar memberi makan, membuatkan susu, atau memandikan. Tapi juga mendidik anak di masa keemasannya.

Pengasuh yang paham keadaan emosi anak. Yang sabar nyebokin, yang tidak pacaran sama tukang kebun tetangga, tidak suka nonton acara gosip di TV, tidak dengan mudahnya memberi tontonan YouTube pada anak kalau rewel, yang tidak menakut-nakuti anak bahwa ada naga yang bakal keluar dari kolam ikan. Apakah ada pengasuh dengan kualifikasi seperti itu? Jika pun ada, sebandingkah penghasilan istri dengan bayaran pengasuh?

Selama jawabannya “belum”, maka selama itu pula pilihannya adalah istri lebih baik tetap di rumah.

Kalau tujuan istri bekerja adalah kemaslahatan ummat yang jauh lebih besar, seperti menjadi peneliti atau penemu, saya pribadi yakin pilihan istri bekerja adalah pilihan yang tepat. Tapi kalau hanya sekadar “menunjang stabilitas finansial keluarga”, sepertinya masih banyak pilihan pekerjaan yang bisa dikerjakan dari rumah sambil tetap punya waktu mendidik anak. Apalagi jaman sekarang, serba daring bisa dapat uang.

Ada orang tua yang sudah berangkat bekerja sejak anak belum bangun, dan pulang ke rumah di saat anak-anaknya sudah tidur. Tahu-tahu anak sudah besar. Tidak sempat mengajar anak baca quran, hafalan surat pendek, atau sekadar main di tepi parit sambil memperhatikan cacing air dan capung. Jika anak ketika dewasa durhaka kepada kedua orang tua, bukan salah anak. Tapi salah pola pengasuhan. Orang tuanya durhaka duluan. Orang tua abai pada hak-hak anak. Yang orang tua tahu, anak hanya butuh materi, bukan kasih.

Kok, ada anak menitipkan orang tua di panti jompo? Coba diingat apakah dahulu anak saat kecil dititipkan kepada orang lain? Coba dicerna, siapakah yang mengganti celana anak saat basah, mengunyahkan makanan lalu mendulanginya, membuatkan mainan dari bekas jeruk bali, menyisirkan rambutnya, atau membersihkan muntahannya? Coba ditanya, anak ini anaknya papa mama atau anaknya Mbak?

Kita hidup di zaman yang berbeda dengan dahulu. Orang tua kita tak hidup di zaman konsumerisme seperti saat ini. Sekarang, produk apa saja dibuat seolah kita ini butuh-butuh banget. Untuk diterima di strata sosial yang agak tinggi, kita harus merogoh kocek lebih dalam, bekerja siang malam, bahkan sampai berhutang. Kita jadi lupa, Tuhan sebetulnya sudah Mencukupkan kita dengan investasi paling mahal. Yaitu anak kita sendiri.

Demi apa kita hidup diperalat zaman kayak gitu? Demikian dan terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

speak now or forever hold your peace

About Me