Akhir pekan. Persiapan matang menuju pantai. Berangkat sekeluarga pakai mobil. Rencana perjalanan 2 jam. Selang beberapa kilometer menuju tujuan, terlihat dari arah sebaliknya sebuah mobil keluarga yang sepertinya dari pantai. “Pantainya ditutup, Pak, buat latihan TNI,” teriak pengemudi yang kita pun tak kenal. Pertanyaannya, mau balik arah? “Aduh nanggung Pah, mending kita terusin dulu, lihat langsung, siapa tahu udah buka,” kata si Istri, nggak mau rugi.
Ilustrasi di atas adalah salah satu contoh sunk cost fallacy. Cara kita berpikir menjadi bias karena sudah banyak sumber daya yang dikeluarkan baik waktu, uang, tenaga, dan hal lainnya.
Manusia cenderung lebih sering menjadi impulsif dibanding rasional. Meneruskan tenggelam dalam keputusan yang salah. Ini bisa ditemui dalam bisnis / usaha, relationship, saat mengambil jurusan tertentu di perkuliahan, bahkan kalau mau ekstrim, soal menganut agama dan kepercayaan tertentu.
Akhir tahun lalu, perusahaan tempat saya bekerja mengalami imbas ekonomi dari pandemi. Akibatnya saya menjadi salah satu pekerja yang dirumahkan, setelah beberapa bulan sebelumnya memang sudah disuruh bekerja dari rumah. Yang menarik dari menjadi korban PHK ini sebetulnya adalah bagaimana respon dari orang-orang di sekeliling kita. Istri, keluarga, teman-teman dekat, sampai orang-orang yang baru saja kita kenal.
Tak bisa dipungkiri, frasa “korban PHK” memang negatif konotasinya. Nelongso. Patut diberi rasa iba. Begitu-begitu lah... Tapi sebagaimana seorang muslim menyikapi nikmat, begitu pula kita seharusnya menyikapi hal yang kurang nikmat. Termasuk jadi objek omongan tetangga dan keluarga besar.
Sejak beberapa minggu sebelum pabrik dinyatakan ditutup, mandor pabrik sudah japri duluan, menyuruh mencari pekerjaan baru. Sejak itu pula, saya melihat semua hal sebagai hal yang amat sangat patut disyukuri. Tidak ada rasa menyesal, sedih, apalagi sampai bimbang “mau makan apa buat besok” kayak orang ndak percaya Tuhan aja.
Hanya dengan menganggap semua hal terjadi karena takdir Allah, kita akan memandang semuanya dengan perspektif positif — Novel Baswedan
Benar bahwa kita tidak bisa menyamaratakan tiap keadaan korban PHK. Ada yang depresi, minder, campur aduk, kurang bisa berpikir jernih, semacam itu. Tapi balik lagi ke sunk cost fallacy, mengapa kita jadi “enggan” berpindah pekerjaan dan kurang menerima keadaan, bisa jadi karena kita merasa waktu kita di korporasi, “pengabdian” kita, itu sudah bertahun-tahun, sudah banyak. Padahal, justru makin berdarah-darah kalau kita mau bertahan di keadaan yang sama.
Bonus cerita:
Alhamdulillah. Saya mendapat pesangon, ditambah dengan asuransi kesehatan keluarga selama setahun plus sebuah MacBook Pro 2019. Menurut saya ini sesuatu yang harus disyukuri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
speak now or forever hold your peace