Renovasi

Bismillah.

Dalam proses perbaikan rumah kecil kami, tujuan awal sebetulnya sederhana: supaya tidak kebanjiran. Cukuplah pengalaman buruk di awal tahun lalu membuat trauma saya, terlebih anak dan istri (yang waktu itu terbangun dengan posisi terendam air).

Dalam perjalanannya, tidak mudah bagi kami untuk memulai. "Meninggikan lantai" memiliki collateral damage ke hal-hal berikut ini:

  1. Kusen pintu dan jendela harus berubah. Dan ini masuk komponen termahal setelah biaya lantai dan pekerja konstruksi.
  2. Karena lantai kamar mandi meninggi, berarti harus sekalian ubah stuktur pipa air kotor.
  3. Meja dapur (dari beton) harus dibongkar dan ditata ulang
  4. Area jemuran harus berubah juga karena posisi pipa air kotor yang meninggi dan tata letak pintu belakang berubah.
Selain itu, rumah juga punya isu bertahun-tahun lainnya seperti kualitas plester dinding yang seperti tepung campur telor doang, dan juga kebocoran pipa air bersih. Dua masalah ini juga harus kami pikirkan. Sekalian.

Mengapa tidak satu-satu? Jika ditunda, biaya yang timbul di masa depan akan lebih besar, karena harus makan waktu untuk bongkar ulang. Komponen waktu ini yang sering dilupakan sebagai biaya. Jadi, selagi rumah berantakan, kita pikirkan apa yang bisa kita perbaiki dari sekarang. Ini termasuk hal-hal kecil seperti posisi keran, colokan listrik, gantungan baju, gantungan shower, lampu, dll.

Memilih Pekerja Konstruksi

Saya membaca tulisan Pangeran Sitompul soal tips memilih pekerja bangunan yang berkualitas. Karena lupa sumber aslinya, kira-kira ini yang bisa saya ingat dan bagikan:
  1. Cari rekomendasi dari orang yang rumahnya bagus-bagus. Kalau perlu, pas di jalan lihat rumah gedongan, bel aja pintunya langsung nanya (haha). Lebih mantap lagi, jika punya teman yang mandor proyek / kontraktor.
  2. Lihat kedisiplinannya. Lihat cara dia menghargai waktu. Disiplin bekerja, disiplin beristirahat.
  3. Lihat kelengkapan alat-alatnya. Punya bor, gerinda, waterpas, dan alat-alat sendiri. Jangan lupa, mereka harus bawa meteran ke mana-mana.
  4. Lihat motornya. Kalau motornya norak, dengan warna pink dan modifikasi di sana-sini, langsung blacklist.
  5. Cara bicaranya seimbang, antara memberi, menerima, dan membantah saran pemilik rumah.
  6. Perawakannya seimbang. Tidak kurus sekali atau gemuk sekali.
  7. Tanyakan pertanyaan-pertanyaan layaknya orang sedang interview kerja saat mereka datang melihat lokasi pengerjaan.
  8. Ini tips tambahan dari saya: lihat kebiasaan merokoknya. Kalau baru ngobrol bentar udah nyala sebat, menurut saya orang seperti ini gampang stress. Cut aja.
Tukang bangunan yang bagus akan selalu dicari orang. Mereka akan terus punya pekerjaan dan tidak menganggur, sehingga tidak perlu mempromosikan dirinya. Usahakan jangan cari via online (ini kesalahan kami sih). Kami menggunakan 4 orang berbeda sejak awal, dengan drama masing-masing.

Menikmati Proses

Yang bisa kami ceritakan, banyak sekali drama-drama sejak proses perbaikan di rumah, sampai menjelang berakhir. Penting untuk berdoa dan minta doa orang tua. Apalagi dengan anggaran kami yang sangat minim dan terbatas. Saya pribadi sangat menikmati semuanya. Mulai dari konflik dengan pekerja, cara komunikasi, pemilihan bahan bangunan (sempet salah-salah juga di lantai kamar mandi), sampai terpaksa harus sewa kontrakan karena kamar mandi dan kamar tidak bisa dipakai.

Oh, mungkin ini juga cara Tuhan Menyelesaikan masalah kami. Saya mendapat rekomendasi tukang bangunan yang bagus dari pemilik kontrakan. Alhamdulillah.

Banyak sekali ilmu-ilmu tukang bangunan yang saya serap selama proses pengerjaan ini (gak mau rugi, harus dapet ilmu dan pembelajaran baru). Mulai dari pemilihan bahan bangunan, sampai tips trik untuk mengatasi masalah rumah. Terdengar sepele, tapi bisa menghemat biaya jasa pekerja karena ke depannya kita bisa kerjakan sendiri.

Kesimpulan

Kami sangat bersyukur semuanya sudah selesai. Tinggal bersih-bersih dan pekerjaan kecil yang insya Allah saya bisa kerjakan sendiri, baik di akhir pekan atau pagi-pagi sebagai olahraga ringan. Inilah rumah kami. Rumah dengan beragam cerita yang tiap sudutnya ada alasan mengapa harus begini dan begitu. Saya rasa tiap orang pun sama. Ada yang jemuran bajunya di depan teras, ada yang cat temboknya warna pink. Macam-macam pastinya, sesuai kebutuhan dan selera.

Intinya punya rumah itu bukan sekadar untuk gaya-gayaan dan pamer (terlebih kalau statusnya masih ngutang), tapi apakah ada peningkatan pada kualitas hidup kita?

Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

speak now or forever hold your peace

About Me