Roti dan Sirkus

Bismillah.

Dalam sebuah seminar tentang stock market, teman saya pernah cerita tentang bagaimana menentukan pemenang pemilu. Kata dia, kecenderungan investor itu akan mengarahkan market condong ke paslon tertentu, sehingga dapat diprediksi siapa yang jadi presiden berikutnya (walaupun hari pemilihan masih lumayan jauh).

Image from Arnaud Jaegers

Pertarungan di ranah legislatif juga berdarah-darah. Tidak heran kalau banyak yang depresi dan mendekati hilang waras. Kalau dilihat-lihat, mayoritas masyarakat (mohon maaf) miskin tidak peduli Anda punya program apa di 5 tahun ke depan. Yang penting hari itu mereka punya beras. Jadi memang paling mudah bikin program yang kaitannya dengan perut.

Saya jadi ingat sebuah frasa dari Junius Juvenalis, seorang penyair Romawi dari abad ke-2 Masehi. Lengkapnya kurang lebih seperti ini.
Already long ago, from when we sold our vote to no man, the People have abdicated our duties; for the People who once upon a time handed out military command, high civil office, legions — everything, now restrains itself and anxiously hopes for just two things: bread and circuses

Yang diterjemahkan secara bebas menjadi "selama roti dan sirkus tersedia, orang tidak akan melakukan pemberontakan". Amat sangat wajar jika kualitas pemilih menjadi menurun, ketika yang jadi perhatian kebanyakan orang adalah makanan gratis dan jogetan.

Tes Kesakitan

Bismillah.

Beberapa hari lalu, karena sebuah keperluan yang mewajibkan medical check up (MCU), saya pergi periksa ke RSUD Kota Tangerang. Baru tahu ternyata untuk pembiayaan tersebut harus dari kantong kita pribadi. Mungkin beda propinsi beda kebijakan. Nyesek juga sih harus keluar cetiao. Walaupun pada akhirnya entar diganti sama pabrik.

Gambar dari Gonzalo Kenny

Saat MCU kita diambil darah 2 kali, diperiksa EKG, ditimbang, diukur tinggi, rontgen, dan lain sebagainya. Hasilnya ternyata bikin kaget. Kolesterol saya tinggi dan kadar SGPT (bukan SGIE) sedikit di atas normal. Akhirnya dirujuk ke spesialis penyakit dalam. Yang tadinya perasaan sehat-sehat aja, eh ternyata mesti ngantri di RSUD lagi. Selain makan waktu yang tidak sebentar, punya pengalaman buruk juga dengan RS karena pernah operasi t*tek.

Mungkin itulah sebabnya orang jarang mau dengan sukarela ikut tes kesehatan. Ibarat kendaraan yang servis di bengkel, yang tiba-tiba dipanggil sama mekaniknya. "Pak, sini sebentar, Pak.." Terus ternyata kudu ganti kampas rem, filter, aki, dsb. Padahal awalnya cuma mau ganti oli aja. Saya usul tes kesehatan diganti saja namanya menjadi "tes kesakitan". Karena alih-alih pengen tahu orang itu sehat atau tidak, malah justru membuka kotak pandora. Ujungnya, orang jadi stress karena harus jaga makan, gak boleh ina itu, dan malah bikin tambah sakit karena jiwanya terguncang.

2024

Bismillah.

Tahun 2023 dilewati dengan penuh perdjoeangan. Pabrik banyak kusutnya. Kuliah masuk proposal thesis. Side-project ternyata cukup menyita fokus. Penat juga rasanya, tapi dijalani dulu dengan banyak-banyak pasrah. Yang penting jangan lupa bahwa perjalanan kita itu adalah hasil dari peran Sang Navigator.

A photo by Todd Kent

Markonah dan anak juga punya cerita sendiri-sendiri. Markonah mulai "ngajar" walau sekadar online. Anak juga masuk SD. Masih penyesuaian (terutama jadwal di pagi hari), misalnya belajar cebok sendiri habis boker. Pokoknya tahun ini banyak hal yang perlu disyukuri.

Di tahun 2024 banyak yang kami rencanakan. Kuliah misalnya, harus kelar minimal proposal dulu. Paling minimal, supaya nggak nambah bayar lagi. Pengen fokus ibadah juga. Udah harus sadar kalau semakin berumur. Banyak loh, orang-orang terdekat kita yang umurnya masih muda-muda tapi dipanggil duluan. Itu harusnya semakin buat kita eling.

Satu Dekade di Tangerang

Bismillah.

Tak terasa sudah 10 tahun saya ber-KTP Kota Tangerang. Seperti nasib, kepindahan status kependudukan ini juga tanpa rencana. Kebetulan karena Abang saya pindah duluan di tahun 2013. Ceritanya panjang. Sepanjang fase kehidupan yang berubah selama satu dekade ini. Mulai dari menjadi pekerja rantau yang hidup sendiri, menikah, sampai punya anak.

Pohon jeruk 2014, sempat menjadi teman kesepian

Jujur saya bersyukur tinggal di sini, menjadi salah satu dari 2 juta orang Tangerang lainnya. Namun, dari yang kami lihat (dan hasil diskusi dengan Markonah juga), kota ini mungkin tak cocok untuk semua orang. Salah satu penyebab utamanya mungkin terkait kepadatan penduduk. Dengan karakter kami yang "enggan berinteraksi sosial", kami merasa kurang bisa sehati. Ada rencana untuk, suatu saat, tinggal di kota berbeda yang lebih, apa ya, agak sulit memilih kata yang pas, humanis mungkin.

Markonah punya opini, mungkin ini justru terkait habit kami yang sangat jarang pergi ke mana-mana. Jarang melakukan eksplorasi, sehingga sudut-sudut kota ini yang menarik, belum pernah kami lihat. Saya sendiri belum pernah ke kawasan kuliner Pasar Lama, yang katanya melegenda di media sosial.

Kota ini padahal punya nilai yang kaya. Sejarah perjuangan, budaya, makanan khas, demografi. Entahlah, mungkin butuh waktu lebih lama untuk benar-benar menjiwai menjadi warga kota dengan tagline "akhlakul karimah" tapi punya banyak lapas ini.

Akhir Tahun

Bismillah.

Anak sudah masuk fase liburan sekolah. Biasanya ditambah dengan beberapa hari yang statusnya "tidak terlalu penting untuk masuk sekolah". Jadi menambah panjang periode libur. Biasanya kami agendakan untuk pulang kampung, tetapi karena beberapa pertimbangan (kuliah, pekerjaan, biaya), sepertinya tahun ini harus menahan diri. Sedih memang, tapi mau bagaimana lagi.

Menjelang akhir tahun, banyak bengong juga. Merenungi apa yang sudah dijalani sepanjang tahun ini. Kesalahan demi kesalahan. Perjuangan. Pencapaian kecil.

Photo by Aaron Burden

Bersyukur dengan apa yang dialami. Mempersiapkan diri lebih matang untuk petualangan yang lebih barbar. Keresahan sudah pasti ada. Tapi siapakah kita mampu mengetahui takdir esok hari?

Akun Sosmed Orang Kaya

Bismillah.

Sosmed itu penuh dengan realitas yang jauh dari apa yang ditampilkan. Bahkan mungkin malah sebaliknya. Orang yang benar-benar kaya, akan cenderung untuk menutup diri dari popularitas. Sangat perhatian kepada informasi yang sifatnya pribadi. Takut ketahuan orang pajak juga, mungkin?

Saya curiga, akun sosmed yang suka pamer harta dan hidupnya terkesan isinya jalan-jalan terus, adalah kumpulan orang-orang dengan masalah kejiwaan, yang aslinya pusing memikirkan cicilan dan hutang. Bukankah sering kita lihat, selebritas sosmed yang tertangkap membual karena tak ingin terlihat kismin di mata para penggemarnya?



Mungkin memang benar segitiga maslow tentang kebutuhan manusia yang suka "mengaktualisasikan diri". Bahwa keinginan untuk menonjolkan pencapaian itu menjadi urgensi bagi sebagian besar orang. Tapi untuk sebagian (kecil) yang lain, mengabadikan momen dengan mengunggahnya ke sosmed (dengan harapan mendapatkan sebanyak mungkin jempol) bukan menjadi pilihan.

Jadi teringat tentang Walter Mitty yang mencari film negatif yang hilang, sampai ke puncak Himalaya.

Waktu Bersama Anak

Bismillah.

Anak kemarin ngomong.

Aba kan sekarang sudah jarang main sama Arin lagi...

Lihat kalimatnya. Bukan seperti ini.

Mengapa Aba jarang main sama Arin lagi?

Betapa dia sudah mencapai tahap acceptance dari "5 stages of grief". Udah bukan denial lagi.

Saya memang sangat sibuk dalam 2 bulan terakhir. Pekerjaan. Proposal thesis. Semuanya menyita waktu. Boro-boro mau nongkrong di pos ronda sama Pak Rete. Keluarga sendiri aja kurang diurus.

Jika ada istilah anak durhaka, apakah ada orang tua yang durhaka? Yang mengabaikan hak-hak anaknya. Kasih sayang tak diberi. Tanpa membersamai. Yang ujung-ujungnya, wajar bila kelak ketika anak dewasa, orang tua menjadi ditelantarkan. Karena tak ada kedekatan bin ikatan hati.

Maafkan orangtuamu ini ya, Nak. Setelah semua urusan Aba selesai, nanti kita ke Mixue.

 

About Me