"Jaminan" Hari Tua

Bismillah.

Sebetulnya, kalau kita mau jujur, frase "jaminan" tersebut terkesan seperti gimmick marketing yang sedikit dipaksakan. Layaknya perusahaan asuransi yang salesnya bergerilya demi mencari sebanyak mungkin nasabah, maka perusaaan plat merah tersebut juga seharusnya melakukan aksi serupa. Nasabah atau karyawan dengan gaji bulanan adalah sumber cuan dan bahan bakar untuk gedung-gedung mentereng dan mbak-mbak dengan gaya menggoda dan suara mendesah separuh basah. Semakin membuat perusahaan terlihat parlente dan mbois.

A photo from Simon Godfrey

Tapi akumulasi potongan gaji tersebut ternyata ingin diambil secepat-cepat mungkin oleh nasabah. Nasabah tak ingin menunggu masa tuanya datang, baru bisa menikmati. Kebutuhannya hari ini bin sekarang. Mungkin sudah keburu takut perusahaan tersebut dikorupsi petinggi pemerintahan ataukah gagal bayar seperti perusahaan penjual "kecap" yang lain. Ataukah mungkin nasabah tidak percaya oleh janji manis yang disodorkan, merasa tak ada gunanya berharap pada nominal yang tak seberapa, dan harus bolak-balik mengecek angka saldo yang tak berubah signifikan selama puluhan tahun.

Pekerja sektor informal, bukanlah target pasar perusahaan ini. Mereka bekerja hari ini, dan kemungkinan besar mendapat uang hari ini, untuk kemudian dihabiskan pula hari ini. Mereka tidak percaya dengan "jaminan". Tidak ada itu di kamus mereka. Mereka lapar sejak kemarin. Jangankan menunggu belasan bahkan puluhan tahun, menunggu hari ini berakhir pun dengan sejuta kekhawatiran.

Tapi, bukankah kita diajari berbagai macam doa untuk menghadapi berbagai kesulitan? Doa Nabi Ibrahim 'alaihissalaam ketika terkepung bara api. Nabi Yunus ketika berada di dalam 3 lapis kegelapan. Nabi Ayub ketika sakit keras. Nabi Musa ketika beliau sulit bicara di depan pejabat zalim. Nabi Muhammad sholallahu 'ala wassalam ketika meminta kebaikan dunia. Jika kita gentar menghadapi masa depan, siapakah selain para nabi yang kita jadikan role model, sedang mereka menghadapi beban yang berkali lipat lebih berat?

Arafah

Bismillah.

Wukuf punya (salah satunya) makna berhenti. Walau hanya sejenak. Berkontemplasi. Bercermin. Mengevaluasi yang berlalu, menatap masa depan dengan optimisme. Menanggalkan ambisi keduniawian. Menapaktilasi perjuangan Bapaknya para nabi. Dan pada akhirnya, berusaha memenuhi panggilan Tuhan. Bersegera. Meminta kekuatan dari Yang Maha Kuat. Berharap agar diberi kemampuan untuk bersabar atas segala ujian. Kehilangan harta dan kenyamanan. Jauh dari keluarga.

Wukuf tidak lama. Bahkan ketika keadaannya sedemikian sulit, misalnya saat sakit parah, wukuf diperbolehkan dilakukan di dalam mobil ambulance, dengan puluhan selang yg tersambung di raga. Untuk selanjutnya mobil akan kembali ke rumah sakit. Demikian pentingnya rukun haji ini, sehingga jika tidak ada wukuf, hajinya tidak sah. Oleh sebab itu, orang akan berupaya (yang entah bagaimanapun caranya bahkan dengan hal-hal di luar nalar) agar tetap bisa masuk ke Arafah.

Sekilas terlihat simpel. Sekadar diam sebentar. Tapi, apakah kita mampu melaksanakannya?

Perangkap Kesejahteraan

Bismillah.

Mengapa sulit sekali keluar dari lingkaran kemiskinan? Ann Helen Bay menjelaskan tentang istilah "welfare trap" atau perangkap kesejahteraan dalam sebuah ilustrasi video dari TED. Negara Konoha ini punya tagline gemah ripah loh jinawi. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Lumbung padi Asia. Tak terhitung macam-macam spanduk bertebaran untuk memotivasi jiwa yang kosong dan depresi. Tapi kok tetep banyak yang miskin?

Benefit yang didapat oleh si miskin misalnya subsidi listrik, boleh pakai gas kemasan 3 kg, antri pertalite dapat harga ceban, makan siang gratis (kabarnya ini di beberapa sekolah sifatnya opsional, boleh untuk tidak ambil kalau merasa kaya atau alergi dengan makanan murahan), atau model bansos yang beraneka rupa. Tapi, sebetulnya ini dapat berakibat buruk jika tidak disikapi dengan benar. Contoh, ketika Ayah sebagai kepala keluarga sudah berhasil mendapatkan pekerjaan yang penghasilannya setara UMP/UMR, maka predikat "miskin" sudah tidak lagi bisa disandang. Dan akibatnya, satu per satu benefit pun harus dicabut. Inilah yang membuat keluarga pra sejahtera (wuih enak banget didengernya daripada "melarat") enggan naik kelas. Kenaikan pendapatan yang tak seberapa membuat penurunan drastis "income" dalam bentuk bantuan pada rakyat jelata itu.

Apakah memang benar bahwa fakir miskin dan anak terlantar akan dipelihara negara? Dalam artian "dipelihara", akan terus menerus dipertahankan untuk tetap miskin? Karena orang miskin ini adalah bahan bakar utama dalam acara lima tahunan. Komoditas. Sumber suara. Coba kalau kita ini jadi lebih pintar sedikit saja, tidak mengalokasikan sumber pendapatan ke pengeluaran tak perlu macam rokok hasil sogokan dan joget-joget artis di lapangan kantor kecamatan, dan lebih memprioritaskan pendidikan dan gizi anak, tentu agak sulit disogok dengan amplop isi beberapa lembar uang merah.

Pekerjaan rumah kita ternyata masih panjang.

Foto Keluarga

Bismillah.

Lebaran kali ini sedikit berbeda. Alhamdulillah seluruh saudara dari keluarga istri bisa pulang sehingga Markonah menginisiasi rencana untuk berfoto bersama di studio foto. Tapi, tentu saja, banyak orang berpikiran serupa. Mumpung pakai baju bagus dan sudah disenadakan. Dan, karena studio foto yang buka di hari pertama idul fitri bisa dihitung dengan sebelah tangan, walhasil kami harus antri lebih dari 2 jam. Itu belum termasuk memilih foto terbaik dari sekian kali pengambilan gambar.

Photo by Andrea G

Sebetulnya saya termasuk yang menolak narasi "harus punya foto keluarga". Apalagi untuk sekadar dipajang di ruang tamu yang tamunya pun jarang-jarang ada. Kalau sekadar dilihat pribadi, menurut saya foto sendiri saja jangan sampai ke studio foto. Namun ide ini tentu ditolak mentah-mentah Markonah yang sudah terlanjur termakan scam abang-abang Nikon.

Yah, tulisan ini memang sesinis tulisan tentang wisuda lalu. Haha.

Enam Belas Tahun Lalu

Bismillah.

Alhamdulillah mudik lebaran kali ini sedikit lebih awal. Karena kebutuhan yang dikatakan mendesak, saya membeli peripheral komputer di kota. Cukup jauh dari rumah orang tua kami. Teringat sebuah toko komputer yang saya kunjungi di 2009. Tempatnya kecil. Sangat tidak terkenal saat itu. Tapi karena rekomendasi dari seorang sahabat, saya datangi juga. Kita sebut saja nama pemiliknya Bang Tono.

A photo by Zhouxing Lu

Walau terlihat tidak meyakinkan dari luar, tapi pelayanan dari Bang Tono sangat baik. Ketika itu, saya membayangkan apakah suatu saat saya akan memiliki usaha sendiri dengan penampilan seperti kokoh-kokoh. Kalung dari rantai emas. Kursi direktur yang besar dan empuk. Lengkap dengan tato yang terlihat jelas di lengan yang besar karena hanya pakai kaus singlet. Lengkap dengan kipas angin tanpa cangkang yang berputar ala kadarnya. Sesekali kepulan asap rokok mengurai, membuat pekat ruangan yang sudah sempit sedari awal.

Terbukti, kisaran 2011, beliau ini pindah ke sebuah ruko yang besar. Jauh lebih baik. Masih di kawasan elit yang sama. Kerja keras yang berbuah manis, jika melihat bagaimana sebelumnya tokonya bisa dibilang lebih mirip warung kopi tanpa pengunjung dengan gantungan kacang koreng plastikan yang sudah berdebu.

Kisaran 300 meter menuju rumah, karena hujan, motor saya tepikan di sebuah ruko yang tertutup. Terlihat sepi dan tak berpenghuni. Tak lama kemudian, seorang anak perempuan keluar dan menuju mobil (jemputan). Oh, sepertinya ruko ini difungsikan sebagai rumah. Langit masih meneteskan air walau tak lebat. Tak lama, hujan berhenti. Dua buah motor mendekat dan bersiap masuk ke ruko ini. Hlo, ternyata Bang Tono dan istrinya. Berarti ini rumahnya, karena dia bilang kalau Minggu tokonya tutup jam 3.

"Belum pulang?" tanya Bang Tono sambil tersenyum.
"Menunggu hujan, Bang," jawab saya. "Ini rumah Abang, kah?"
"Iya. You tinggal mana?"
Saya menjawab nama kabupaten tempat orang tua tinggal.
"Hah, tunggu jak, mana tau di sana lebih deras," sarannya sambil masuk ke dalam rumah.

Enam belas tahun lalu. Siapa sangka nasib orang akan berubah sedemikian. Kini punya 2 ruko, di daerah yang menurut saya prestisius sebagai tempat usaha. Kita memang tidak bisa melihat masa depan orang dari keadaan saat ini. Semua serba ajaib, rahasia, takdir dari Tuhan. Tidak perlu berputus asa.

Dimurnikan

Bismillah.

Selayaknya air laut yang bergaram, menguap ditempa panas lalu muncul kembali sebagai titik-titik hujan yang jernih. Seperti emas yang didulang dari sungai yang berlumpur, yang lalu dibuat menjadi kepingan indah. Seperti daun eukaliptus yang direbus berjam-jam, untuk mendapatkan minyak yang menyembuhkan. Nabi Yunus butuh ditelan ikan, jauh di bawah laut, dalam gulita malam, sedemikian untuk membuat emosinya reda dan kembali ke kaumnya dalam keadaan lega.

anna atkins rain
A photo by Anna Atkins on Unsplash

Setiap jiwa kita kotor dan bercampur. Aslinya, kita suci sejak lahir. Tapi seiring waktu, dunia mengubah kita. Menjadi insan yang rakus dan penuh ambisi. Rela mengotori tangan dengan darah saudara sendiri, demi obsesi yang tak seberapa. Melupakan hal-hal baik yang diajarkan oleh Yang Maha Menciptakan. Maka itu, kita butuh untuk dimurnikan. Caranya bisa macam-macam. Ada yang sekadar dimandikan. Tapi sebagian besar boleh jadi dengan cara yg sakit, tidak enak, demi penebusan dosa. Purifikasi. Menjadi bersih kembali.

Mimpi Kembali ke Sekolah

Bismillah.

Mungkin kita sering bermimpi kembali ke masa sekolah. "Mimpi" dalam arti sebenarnya. Alias bunga tidur. Bukan "harapan", "angan-angan", atau "sesuatu yang dicita-citakan". Tiba-tiba besok ujian. Atau lupa mengerjakan pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan segera. Mimpi berada di ruang kelas kembali. Disoraki teman-teman. Dimarahi guru. Dihukum atau dipermalukan.


Photo by Adhitya Ginanjar from Unsplash

Dan ketika bangun, kita tersadar kita sudah berada jauh dari masa itu. Masa-masa yang mungkin tidak ingin kita kenang. Merasa dikejar-kejar. Tidak bebas. Terkekang. Apakah masa itu sedemikian menekan kita, sampai-sampai kita berkali-kali mimpi kembali ke sekolah?

Mengurusi hal-hal yang jadi esensi bagi masa depan mungkin berat bagi Kemdigdud Konoha. Maklum saja karena anggarannya paling besar. Rawan dikutip sana-sini. Sistem yang tambal sulam. Harus menyertakan vendor yang masih ada hubungan keluarga dalam proyek. Titipan pejabat. Pesanan orang penting. Terlalu banyak interest.

Mari kita sama-sama doakan semoga Tuhan masih Mengiringi perjalanan pendidikan kita. Menghasilkan pelajar tanpa tekanan batin, yang yakin suatu saat masa depan mereka akan terjamin cerah.
About Me