Photo by Adhitya Ginanjar from Unsplash |
Authorized Reseller of Undur-undur Bang Jupri
making doodles by moving backward
Mimpi Kembali ke Sekolah
2025
Bismillah.
Tahun 2024 hampir berakhir. Yang saya baru sadari, blog ini jarang ditulisin lagi. Semua tulisan menjelma menjadi bentuk lain aktualisasi diri: konten video di kanal YouTube pribadi. Betapa banyak video itu yang sebetulnya manifestasi dari buah pikiran yang selama ini dicurahkan dalam bentuk tulisan. Berpindah bentuk menjadi obrolan random jam 4 pagi. Jadi media lisan. Visual. Yang walaupun punya wujud berbeda, tapi esensinya ya curhat-curhat juga.
Photo by K Munggaran from Unsplash |
Alhamdulillah tahun ini banyak mendapat kemudahan. Salah satu yang berkesan soal perjalanan panjang satu bulan setengah yang niscaya akan tetap terus terkenang. Seperti langit yang tak bertiang, lautan dalam yang tak terjamah cahaya mentari, banyak sekali kuasa Tuhan yang sifatnya black box. Entah bagaimana cara kerjanya kita tak tahu. Yang bisa kita lakukan sejauh ini, menuruti kehendak-Nya dan mengikuti alur rute yang sudah digariskan.
Oh ya, sejak 2019, lebih tepatnya sejak tidak dikejar-kejar orang bank dalam rangka cicilan rumah, entah mengapa walaupun sama-sama gak punya duit, perasaan jadi jauh lebih tenang. Ketenangan itu walau kelihatannya sederhana sekali, tapi efeknya luar biasa. Memang benar bahwa kita diajarkan sebuah doa yang menjauhkan kita dari segala bentuk hutang. Hutang ya bukan kutang.
Akhir atau awal tahun sebetulnya bukan sebuah momen yang kami rayakan, tapi lebih ke titik evaluasi atawa checkpoint semata. Apa yang sudah disyukuri tercapai? Apa yang masih salah? Bagaimana meraih yang belum? Yang semua jawaban itu berujung pada (semoga) diri dan kehidupan yang lebih baik. Aamiin.
Sebuah Headset
Bismillah.
Tahun 2022 silam, saya kebetulan sekamar dengan teman sepabrik di sebuah kegiatan. Mas Ananta Bintang namanya. Diperhatikan, beliau membawa sebuah headset merek Sony. Penasaran, saya pinjam dan mulai memasangkan di telinga.
Image generated incorrectly using Dall-E |
The Art of Taking a Break
Image dari Eirik Skarstein |
Ingin Belajar Menulis Fiksi
Bismillah.
Bu Wawan, guru Bahasa di SMA saat itu, suatu kali mengajar tentang paragraf deskriptif. Beberapa siswa diminta untuk maju lalu membuat beberapa kalimat dari gambar yang dipilih secara acak dari buku.
"Jangan saya, jangan saya, jangan saya..." batin saya, sambil menghindari kontak mata dan pura-pura serius.
Bu Wawan membaca daftar presensi, seperti sedang memutar mesin slot. Ia mengambil satu nama lagi, melanjutkan siswa-siswa sebelumnya yang duluan dipanggil dan ditertawakan karena memberikan jawaban yang tidak nyambung dengan gambar.
Gambar dari Thought Catalog |
"Prabowo... Silakan ke depan."
Modar. Saya bangkit berdiri, melangkah lemas seperti mayat hidup yang jiwanya sudah digiring duluan.
Bu Wawan menyebut sebuah halaman, yang lalu saya buka perlahan dengan jemari yang sudah basah berkeringat sejak tadi, sambil berharap gambar yang keluar mudah untuk diterjemahkan menjadi cerita.
Sebuah ilustrasi yang di dalamnya terdapat dua orang lelaki, seorang duduk dengan meja dan seorang lagi berdiri di depannya.
"Dari gambar dapat kita lihat..." Saya memulai kalimat, sekadar untuk mengisi kekosongan yang panjang karena kepala saya belum berisi apa-apa.
"... seorang pria memakai pakaian yang tidak senonoh."
Sontak seisi kelas tertawa. Lebih keras dari sebelum-sebelumnya. Rasa malu, gugup, takut dimarahi, bercampur aduk di dalam dada. Saya memandang ke arah Bu Wawan yang berusaha menenangkan kelas. Raut wajah beliau menunjukkan aura keheranan.
"Dari mana pakaiannya tidak senonoh?" tanya beliau.
Saya berpikir cepat. "Karena pria di gambar tersebut memakai sandal, Bu," jawab saya seadanya. Beliau mengangguk-angguk tanda persetujuan yang agak dipaksakan. "Oke, silakan dilanjutkan," ujar beliau.
Kalimat-kalimat berikutnya yang keluar dari mulut yang gemetaran ini pun tak kalah imajinatif dan kembali memancing seisi kelas untuk tertawa. Semakin lama, semakin tidak nyambung. Walaupun saya sudah membela diri dengan memberi penjelasan yang, sayangnya, sama-sama tak masuk di akal.
"Oke. Cukup, ya," Bu Wawan menyudahi pertunjukan lawak dengan seorang badut sebagai lakon utama. Saya kembali ke tempat duduk. Sepintas dilihat, beberapa teman sekelas masih memegangi perut atau menutupi wajah mereka sendiri.
Di mana salahnya? Apakah gambarnya terlalu sederhana, dan minim informasi? Ataukah daya fantasi saya yang kurang dilatih? Atau mungkin ini panic attack saja karena disuruh tampil di depan umum tanpa persiapan? Oh, kenapa saya tidak bisa membayangkan bahwa gambar itu menunjukkan seorang pekerja yang menghadap atasannya, untuk minta naik gaji misalnya? Pikiran ini berkecamuk, bahkan sampai bertahun-tahun setelah itu.
Setelah saya timbang-timbang, saya ingin ikut kelas kepenulisan dan membuat fiksi. Membuat plot, menentukan karakter, menghasilkan karya yang syukur-syukur bisa menginspirasi banyak orang. Paling minimal, seperti kisah di atas, belajar melihat dari sudut pandang berbeda hal-hal yang sebetulnya biasa saja.
Lebaran Tahun Ini
Bismillah.
Semakin berumur, semakin saya merasa bahwa hari raya terus berkurang impresinya. Lambat laun tanpa kesan. Dilalui sebagai sebuah ritual ibadah yang melulu itu. Bukan kehilangan makna, tapi menjadi kurang khusyuk saja. Layaknya sholat yang dikerjakan secara otonomus. Perasaan barusan takbir, tahu-tahu udah salam. Dan ternyata, "banyak kok yang merasa seperti itu," kata Markonah. "Itu 'kan karena kamu sudah tua."
Ketupat (gambar dari Mufid Majnun) |
Si Markonah sebagai introvert yang tervalidasi pernah ngomong.
"Bisa berhenti?"
"Dari apa?"
"Dari berharap untuk mendapat tempat khusus di hati teman, atau siapapun yang berusaha kamu hubungi kalau kita kebetulan lagi mudik."
Saya perhatikan hidup si Markonah ini bagaikan bakteri golongan mikrococcus. Bisa hidup soliter tanpa bergerombol. Ditandai setiap pulang kampung selalu tidak ada acara yang diikuti. Tanpa bukber. Tanpa kongkow-kongkow bin nongki-nongki ganjen.
"Aku niat pulang cuma satu, mau kumpul sama orang tua," katanya membelah diri, eh membela diri.
Mungkin sudah saatnya kita menyadari, bahwa kita berada di rantai makanan paling dasar. Kurang mendapat prioritas. Terbukti kalau ada bukber tidak ada yang japri. Pesan WA selalu kosong dengan pesan dari sahabat, yang sekadar tanya kabar pun tak ada. Kalau ada kumpul-kumpul nggak pernah diajak. Tanpa harapan akan ikut datang.
Roti dan Sirkus
Image from Arnaud Jaegers |
Already long ago, from when we sold our vote to no man, the People have abdicated our duties; for the People who once upon a time handed out military command, high civil office, legions — everything, now restrains itself and anxiously hopes for just two things: bread and circuses
Yang diterjemahkan secara bebas menjadi "selama roti dan sirkus tersedia, orang tidak akan melakukan pemberontakan". Amat sangat wajar jika kualitas pemilih menjadi menurun, ketika yang jadi perhatian kebanyakan orang adalah makanan gratis dan jogetan.