Bismillah.
Bu Wawan, guru Bahasa di SMA saat itu, suatu kali mengajar tentang paragraf deskriptif. Beberapa siswa diminta untuk maju lalu membuat beberapa kalimat dari gambar yang dipilih secara acak dari buku.
"Jangan saya, jangan saya, jangan saya..." batin saya, sambil menghindari kontak mata dan pura-pura serius.
Bu Wawan membaca daftar presensi, seperti sedang memutar mesin slot. Ia mengambil satu nama lagi, melanjutkan siswa-siswa sebelumnya yang duluan dipanggil dan ditertawakan karena memberikan jawaban yang tidak nyambung dengan gambar.
|
Gambar dari Thought Catalog |
"Prabowo... Silakan ke depan."
Modar. Saya bangkit berdiri, melangkah lemas seperti mayat hidup yang jiwanya sudah digiring duluan.
Bu Wawan menyebut sebuah halaman, yang lalu saya buka perlahan dengan jemari yang sudah basah berkeringat sejak tadi, sambil berharap gambar yang keluar mudah untuk diterjemahkan menjadi cerita.
Sebuah ilustrasi yang di dalamnya terdapat dua orang lelaki, seorang duduk dengan meja dan seorang lagi berdiri di depannya.
"Dari gambar dapat kita lihat..." Saya memulai kalimat, sekadar untuk mengisi kekosongan yang panjang karena kepala saya belum berisi apa-apa.
"... seorang pria memakai pakaian yang tidak senonoh."
Sontak seisi kelas tertawa. Lebih keras dari sebelum-sebelumnya. Rasa malu, gugup, takut dimarahi, bercampur aduk di dalam dada. Saya memandang ke arah Bu Wawan yang berusaha menenangkan kelas. Raut wajah beliau menunjukkan aura keheranan.
"Dari mana pakaiannya tidak senonoh?" tanya beliau.
Saya berpikir cepat. "Karena pria di gambar tersebut memakai sandal, Bu," jawab saya seadanya. Beliau mengangguk-angguk tanda persetujuan yang agak dipaksakan. "Oke, silakan dilanjutkan," ujar beliau.
Kalimat-kalimat berikutnya yang keluar dari mulut yang gemetaran ini pun tak kalah imajinatif dan kembali memancing seisi kelas untuk tertawa. Semakin lama, semakin tidak nyambung. Walaupun saya sudah membela diri dengan memberi penjelasan yang, sayangnya, sama-sama tak masuk di akal.
"Oke. Cukup, ya," Bu Wawan menyudahi pertunjukan lawak dengan seorang badut sebagai lakon utama. Saya kembali ke tempat duduk. Sepintas dilihat, beberapa teman sekelas masih memegangi perut atau menutupi wajah mereka sendiri.
Di mana salahnya? Apakah gambarnya terlalu sederhana, dan minim informasi? Ataukah daya fantasi saya yang kurang dilatih? Atau mungkin ini panic attack saja karena disuruh tampil di depan umum tanpa persiapan? Oh, kenapa saya tidak bisa membayangkan bahwa gambar itu menunjukkan seorang pekerja yang menghadap atasannya, untuk minta naik gaji misalnya? Pikiran ini berkecamuk, bahkan sampai bertahun-tahun setelah itu.
Setelah saya timbang-timbang, saya ingin ikut kelas kepenulisan dan membuat fiksi. Membuat plot, menentukan karakter, menghasilkan karya yang syukur-syukur bisa menginspirasi banyak orang. Paling minimal, seperti kisah di atas, belajar melihat dari sudut pandang berbeda hal-hal yang sebetulnya biasa saja.